Jumat, 03 April 2009

MAKALAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA

KONTRAK ELEKTRONIK

DALAM UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SEBAGAI

PERKEMBANGAN DALAM HUKUM PERDATA

Oleh: Emillia Arief, SH

PENDAHULUAN

Cyber law merupakan salah satu topik yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Cyber Law terdiri atas dua suku kata, yaitu cyber dan law. “cyber” ini berasal dari kata “cybernetics” dimana tujuannya adalah mengendalikan sesuatu (misalnya robot) dari jarak jauh. Jadi tujuan utamanya adalah kendali total/perfect control, sedangkan law diartikan sebagai hukum. Secara awam hukum cyber merupakan padanan kata dari Cyber Law, yang secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah Hukum teknologi informasi (law of information technolgy), hukum dunia maya (virtual world law) dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik tersebut.

Yang dimaksud dengan sistem elektronik adalah sistem komputer dalam arti luas yang tidak hanya mencakup perangkat keras dan perangkat lunak computer, tetapi juga mencakup jaringan telekomunikasi dan /atau sistem komunikasi elektronik. Sistem elektronik juga digunakan untuk menjeaskan keberadaan sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis, menampilkan dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik.

Pada saat ini Indonesia telah memiliki Undang-Undang yang mengakomodir mengenai cyber law, yaitu Undang-undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. Dapat disimpulkan bahwa Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

Beberapa contoh pemanfaatan Tekhnologi Informasi adalah seperti penggunaan mesin ATM untuk mengambil uang; penggunaan handphone untuk berkomunikasi dan bertransaksi (mobile banking); penggunaan Internet untuk melakukan transaksi (Internet banking, membeli barang), berkirim e-mail atau menjelajah Internet; perusahaan melakukan transaksi melalui Internet (e-procurement). Jelas terlihat bahwa Tekhnologi Informasi memiliki peluang untuk meningkatkan perdagangan dan perekonomian nasional yang terkait dengan perdagangan dan perekonomian global.

Pemanfaatan Transaksi Elektonik mempunyai efek negative, antara lain : penyadapan e-mail, PIN (untuk Internet Banking); pelanggaran terhadap hak-hak privacy; masalah nama domain; penggunaan kartu kredit milik orang lain; munculnya “pembajakan” lagu dalam format MP3; adanya spamming e-mail; dan maraknya situs pornografi didunia cyber. Sehingga sangat penting adanya pengaturan mengenai Cyber law khususnya di Indonesia. Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik; yang untuk selanjutnya disebut juga dengan UU ITE, tersebut diharapkan mampu mengatasi kendala yang ada di bidang cyber law di Indonesia.

Dengan tuntutan dunia usaha yang kian meningkat sehingga membutuhkan efisiensi waktu semaksimal mungkin, transaksi elektronik adalah solusi yang amat dibutuhkan. Namun, selama ini masih besar sekali keraguan para pelaku bisnis yang ingin menyelesaikan transaksi mereka secara elektronik.

Padahal, hukum perdata kita menganut asas konsensualisme yang menyatakan bahwa perikatan terjadi setelah tercapainya kesepakatan, dan kesepakatan di sini tercapai dalam bentuk tertulis maupun lisan. Keraguan terbesar para pelaku bisnis adalah apakah transaksi yang mereka selesaikan secara elektronik telah sah sehingga segala hal yang mereka lakukan berdasarkan transaksi tersebut tidak akan menjadi sia-sia dan bahkan merugikan secara finansial. Dengan pengakuan UU ITE bahwa transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak, maka keraguan tersebut telah sirna.

KONTRAK ELEKTRONIK

DALAM UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SEBAGAI

PERKEMBANGAN DALAM HUKUM PERDATA

Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik,yang biasa disebut UU ITE, transaksi yang dilakukan adalah transaksi elektronik. Transaksi elektronik itu sendiri adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer dan /atau media elektronik lainnya Para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati. Transaksi elektronik kemudian dapat dituangkan kedalam kontrak elektronik. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik. Maka transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak.

Istilah kontrak itu sendiri berasal dari bahasa Inggris yang berarti perjanjian atau persetujuan.. Sedangkan dalam bahasa belanda, disebut dengan overeenkomst (perjanjian). Fungsi kontrak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Pengertian perjanjian atau kontrak diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yaitu suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain ata lebih.

Ada beberapa macam bentuk kontrak yang umum kita ketahui yaitu kontrak bernama (nominaat) dan kontrak tidak bernama (innominnaat). Perjanjian bernama (nominaat) adalah perjanjian yang disebutkan dalam KUHPerdata sedangkan perjanjian tidak bernama (innominaat), yaitu : “Perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di masyarakat”. Hal ini adalah berdasar kebebasan mengadakan perjanjian atau partij autonomi yang berlaku dalam perjanjian. Dari uraian tersebut dapat dikemukakan unsur kontrak innominaat, yaitu : kontrak yang tidak diatur dalam KUH Perdata; tumbuh dan berkembang dalam masyarakat ; didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hukum kontrak innominaat diatur dalam Buku III KUHPerdata, dimana hanya ada satu pasal yang mengatur tentang kontrak innominaat, yaitu pasal 1319 KUHPerdata. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa perjanjian, baik yang mempunyai nama dalam KUH Perdata maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu (tidak bernama) tunduk pada Buku III KUH Perdata. Dengan demikian, para pihak yang mengadakan kontrak innominaat tidak hanya tunduk pada berbagai peraturan yang mengaturnya, tetapi para pihak juga tunduk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata. Oleh karena kontrak elektronik berkembang di luar KUH Perdata, maka penulis beranggapan bahwa kontrak seperti itu termasuk dalam kategori yang dinamakan kontrak tidak bernama (innominaat/onbenoemde contract).

Transaksi elektronik mapun kontrak elektronik memiliki prinsip yang sama dengan perjanjian menurut KUH Perdata. Perbedaannya terletak pada kekhususan transaksi elektronik maupun kontrak elektronik yang menggunakan alat elektronik untuk menunjang aktivitasnya. Kontrak elektronik adalah sangat baru dalam lapangan hukum perdata Indonesia seiring dengan disahkannya UU ITE pada tahun 2008 ini. Mekanisme transaksi elektronik tidak seperti transaksi jual beli konvensional karena setiap transaksi elektronik diawali dengan tahap penawaran melalui media internet oleh pelaku usaha, tahap penerimaan oleh konsumen, tahap kesepakatan antara para pihak, tahap pembayaran melalui jasa perbankan, dan diakhiri dengan tahap pengiriman produk yang dipesan melalui jasa ekspedisi.

Syarat sahnya suatu perjanjian; yang juga berlaku pada kontrak elektronik; didasarkan pada pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata memuat tentang syarat subjektif dan objektif dan suatu perjanjian. Syarat subjektif memuat tentang kata sepakat diantara para pihak. Kecakapan para pihak dalam bertransaksi juga merupakan syarat subjektif, dimana kecakapan ini dapat dilihat dari kunci publik yang telah didaftarkan pada lembaga sertifikasi elekronik. Mengenai syarat objektif dapat dilihat dari adanya suatu hal tertentu, yaitu adanya objek perjanjian yang telah ditentukan jenisnya. Syarat objektif lainnya menyangkut tentang adanya suatu sebab yang halal, maksudnya objek yang diperjanjikan tidak boleh berupa barang yang dilarang oleh hukum untuk diperjual belikan.

Syarat pertama dan ke dua adalah berkaitan dengan subyeknya atau pihak-pihak dalam perjanjian, sehingga disebut sebagai syarat subyektif. Sedangkan syarat ke-tiga dan ke-empat disebut sebagai syarat obyektif karena mengenai obyek suatu perjanjian.

Antara syarat subyektif dengan syarat obyektif perlu dibedakan, berkaitan dalam hal perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan atau dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak yang memberikan kesepakatannya secara tidak bebas. Namun demikian perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan oleh hakim.

Apabila syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Dengan demikian tujuan para yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal.

Syarat Kesepakatan Kehendak

Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklairing) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Dalam kontrak elektronik, kesepakatan didahului oleh adanya tindakan penawaran dan penerimaan penawaran. Sehingga momentum terjadi perjanjian, yaitu pada saat terjadinya persesuaian kehendak para pihak. Para pihak dalam UU ITE adalah :

1. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik

2. Penerima adalah subjek hukum yang menerima informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dari pengirim

Subjek hukum itu sendiri dalaam UU ITE terdiri atas orang perseorangan baik warga negara indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum dan badan usaha yaitu perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

Kita lihat misalnya masalah kesepakatan lewat internet. Apabila seseorang akan melakukan transaksi lewat internet, ia harus mengisi formulir pemesanan atau formulir pembayaran yang disediakan di situs web perusahaan. Kapan kesepakatan terjadi? Apakah benar kesepakatan telah terjadi sewaktu seseorang selesai mengisi formulir pemesanan barang dan kemudian menekan tombol “enter” untuk mengeksekusi pesanannya, ataukah kesepakatan terjadi sewaktu petugas perusahaan membuka formulir pesanan tersebut dan membaca pesanan.

Untuk mengetahui kapan suatu kesepakatan kehendak terjadi sehingga saat itu pula kontrak dianggap telah mulai berlaku, ada beberapa teori, yaitu:

  1. Teori penawaran dan penerimaan (offerandacceptance).
    Menurut teori ini, pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam kontrak tersebut.
  2. Teori Pengiriman (verzendings theorie)

Menurut teori pengiriman ini, suatu kata sepakat terbentuk pada saat dikirimnya surat jawaban oleh pihak yang kepadanya telah ditawarkan suatu kontrak, karena sejak saat pengiriman tersebut, si pengirim telah kehilangan kekuasaan atas surat yang di kirimnya itu.

Dalam UU ITE Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak kecuali ditentukan lain oleh para pihak. Transaksi Elektronik berdasarkan UU ITE terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima. Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik itu harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik. Atau bisa juga dikatakan bahwa transaksi elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara para pihak yang dapat berupa, antara lain pengecekan data, identitas, nomor identifkasi pribadi (personal identification number/PIN) atau sandi lewat (password). Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.

Semua kontrak lahir karena adanya sebuah perjanjian, oleh sebab itu keabsahan dan mengikatnya perjanjian harus terdapat kata sepakat (toestemming) dari para pihak secara sukarela. Kata sepakat ini biasanya berupa agreement ataupun consent. Tetapi untuk menentukan terjadinya kesepakatan dalam kontrak elektronik maka penulis menganggap teori penawaran dan penerimaan sebagai teori yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan saat terjadinya kesepakatan kehendak. Dengan teori ini berarti ada sebuah komunikasi yang terjalin antara para pihak dalam sebuah perjanjian. Komunikasi itu yang mempertemukan kesepakatan yang melahirkan perjanjian

Syarat Kecakapan Berbuat Dari Para Pihak

Pada suatu transaksi ataupun kontrak elektronik yang tidak mungkin adalah sebuah pertemuan langsung antara penjual dan pembeli, maka untuk mengetahui apakah si pembeli cakap untuk mengadakan suatu perjanjian atau tidak, kita bisa menggunakan sebuah fiksi hukum yaitu untuk melakukan pembayaran dengan transaksi online maka dibutuhkan kartu kredit ataupun e-cash atas namanya sendiri, yang berarti ketika membuat kartu kredit tersebut harus melalui prosedur pembuatan kartu termasuk kartu tanda pengenal dan batas usia diperbolehkan membuat kartu kredit. Jadi kita bisa melakukan konfirmasi kartu kredit kepada pihak bank untuk mengetahui cakap tidaknya seseorang dalam hukum.

Syarat Perihal Tertentu

Pada dasarnya yang dimaksudkan dengan perihal tertentu tidak lain merupakan objek atau barang-barang dalam suatu kontrak. Jadi suatu kontrak haruslah mempunyai objek tertentu. Perjanjian pokok harus objek yang diperbolehkan oleh Undang-undang, yaitu : 1).Barang yang merupakan objek kontrak tersebut haruslah barang yang dapat di perdagangkan (vide pasal 1332 KUH Perdata). Berkaitan dengan barang yang dapat diperdagangkan maka consumer dalam transaksi elektronik harus lebih jeli melihat barang yang ditawarkan melalui webstore. Hal berkaitan dengan jaringan internet yang terbuka sehingga tidak menutup kemungkinan barang/sesuatu yang menurut hukum tidak patut dijual, malah diperdagangkan secara bebas. Misal kasus penawaran untuk menjual anak ataupun organ tubuh. 2).Pada saat kontrak di buat minimal barang tersebut sudah di tentukan jenisnya (vide pasal 1333 ayat 1 KUH Perdata). 3). Jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut kemudian dapat ditentukan atau dihitung (vide pasal 1334 ayat 2 KUH Perdata).4).Barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada di kemudian hari (vide pasal 1334 ayat 1 KUH Perdata). Untuk penyelenggaraan transaksi elektronik itu sendiri harus menunggu keluar PP nya terlebih dahulu. Tetapi secara umum aturan dalam KUHPerdata masih berlaku.

Syarat Kausa yang Halal

Pada pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Didalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dalam UU ITE perbuatan yang dilarang diatur dalam Bab VII, Pasal 27 s/d 37, antara lain suatu informasi elekronik dan atau dokumen elektronik tidaklah boleh memuat yang mengandung muatan kesusilaan; muatan perjudian; muatan penghinaan ataupun pencemaran nama baik; muatan pemerasan dan atau acaman; muatan kebencian atau permusuhan individu dan /atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Alat Bukti Elektonik

Dalam transaksi/kontrak elektronik, prinsip-prinsip dalam hukum kontrak tradisional, harus mengalami modifikasi karena tidak mengenal waktu dan tempat.
Selain itu, masih banyak aturan lain yang harus dibenahi mengingat perjanjian tersebut tidak dilakukan secara tatap muka maupun berdasarkan saksi notaris.

Menurut pasal 164 HIR dan 1866 BW terdapat lima macam alat bukti yang digunakan dalam pembuktian di persidangan, yaitu : Bukti tulisan; Bukti dengan saksi; persangkaan-persangkaan; pengakuan; sumpah. Alat bukti tertulis yang terdapat dalam pasal 1866 KUHPerdata maupun 164 HIR merupakan hal terpenting dalam pembuktian. Dalam hukum bukti tertulis biasanya disamakan dengan surat, dan berdasarkan kekuatan pembuktiannya terbagi menjadi tiga, yaitu ;1).surat biasa; 2)akta otentik; 3) akta dibawah tangan. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Pasal 5 ayat (2) UU ini mengatakan, informasi elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai hukum acara di Indonesia. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Tapi ketentuan itu tidak berlaku untuk surat yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk tertulis. Selain itu juga tidak berlaku untuk surat beserta dokumennya yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Meski ada perkecualian seperti itu, infomasi atau dokumen elektronik tetap dimungkinkan pemakaiannya. Syaratnya, 'duplikasi' dokumen itu memuat informasi yang bisa diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Transaksi elektonik untuk kegiatan perdagangan kita kenal dengan istilah e-commerce. Dalam e-commerce dikenal adanya dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas. Transaksi elektronik antara e-merchant (pihak yang menawarkan barang atau jasa melalui internet) dengan e-customer (pihak yang membeli barang atau jasa melalui internet) yang terjadi di dunia maya atau di internet pada umumnya berlangsung secara paperless transaction, sedangkan dokumen yang digunakan dalam transaksi tersebut bukanlah paper document, melainkan dokumen elektronik (electronic document).

Bentuk konsensualitas suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis ( kontrak ), salah satunya adalah adanya pembubuhan tanda tangan dari pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Tanda tangan itu selain berfungsi sebagai wujud kesepakatan, juga sebagai wujud persetujuan atas tempat dan waktu serta isi perjanjian yang dibuat. Tanda tangan juga berhubungan dengan kesengajaan para pihak untuk membuat suatu kontrak sebagai bukti atas suatu peristiwa.

Dalam transaksi elektronik maka tanda tangannya berupa tandatangan elektronik. Menurut pasal 1 angka 12 UU ITE menyebutkan bahwa tanda tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi Dalam hal ini dapat ditafsirkan bahwa fungsi tanda tangan untuk adalah mengotentifikasikan penandatangan dengan dokumen yang ditandatanganinya. Jadi pada saat penandatangan membubuhkan tanda tangan dalam suatu bentuk yang khusus, tulisan tersebut akan mempunyai hubungan (attribute) dengan penandatangan. Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut (Pasal 11 ayat (1) UU ITE):

a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;

b.data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat meproses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;

c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;

d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;

e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan

f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.

UU ITE memberikan pengakuan scara tegas bahwa meskipun hanya merupakan suatu kode, tanda tangan elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan tanda tangan manual pada umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum.Adapun persyaratan yang dimaksud pada pasal 11 ayat (1) UU ITE tersebut merupakan persyaratan minimum yang harus dipenuhi dam setiap tanda tangan elektronik. Ketentuan ini juga membuka kesempatan seluas-luasnya kepada siapa pun untuk mengembangkan metode, teknik atau proses pembuatan tanda tangan elektronik.

Pengaturan selanjutnya dalm UU ITE adalah pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) bahwa “Setiap orang berhak menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik untuk pembuatan tanda tangan elektronik; Penyelenggara sertifikasi elektronik harus memastikan ketekaitan suatu tanda tangan elektronik dengan pemiliknya.”

Penyelesaian Sengketa

Dari ketentuan Pasal 2 sudah tampak, UU ini didesain untuk dapat menjadi payung hukum bagi perselisihan hukum yang lintas negara. Karena itu, dalam hal terjadi sengketa, UU ini menekankan diberlakukannya asas hukum perdata internasional. Soal kontrak elektronik lintas negara diatur dalam Pasal 18. Ditegaskan di sana, para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi yang dibuatnya. Jika para pihak tidak secara spesifik melakukan pilihan hukum, maka yang diberlakukan adalah hukum yang berazaskan hukum perdata internasional.

Jika timbul sengketa, para pihak juga memiliki kewenangan menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembga penyelesaian sengketa lainnya. Dan, jika para pihak tak menetapkan pilihannya, lagi-lagi yang berperan adalah pengadilan, lembaga arbitrase atau lembaga lainnya yang menerapkan azas hukum perdata internasional.

Bagaimana jika ada segolongan masyarakat yang merasa dirugikan oleh penyelenggara sistem TI? UU ini memiliki bab khusus soal penyelesaian sengketa. Bab VIII itu mengatur mekanisme pengajuan gugatan, baik secara individual maupun perwakilan. Gugatan kelompok atau biasa dikenal dengan class action, dinaungi oleh Pasal 38 ayat 2. Di situ dinyatakan, masyarakat dapat mengajukan gugatan perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik yang berakibat merugikan masyarakat.

Objek Perjanjian

Yang tak kalah penting, UU ITE juga memperluas pengertian hak karya intelektual (HKI). Pasal 25 UU ini menyebutkan, situs internet dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai HKI.

Produk-produk seperti software komputer, musik dan produk lain yang bersifat digital dapat dipasarkan melalui internet dengan cara mendownload secara elektronik. Dalam perkembangannya obyek yang ditawarkan melalui internet juga meliputi barang-barang kebutuhan hidup lainnya. Banyak perusahaan yang bergerak di bidang e-commerce dengan menawarkan barang tak berwujud separti data, software dan ide-ide yang dijual melalui internet. Beberapa bentuk transaksi yang dapat terjadi :

- untuk produk on line yang berupa software, pembeli diizinkan untuk men-download-nya;

- untuk produk yang berwujud fisik, pengiriman barang dilakukan sampai di rumah konsumen;

- untuk pembelian jasa, supplier menyediakan untuk melayani konsumen sesuai dengan waktu dan tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian.

PENUTUP
Berdasarkan dari apa yang telah dikemukakan, dapat kita simpulkan dan usulkan hal-hal sebagai berikut terutama dari bidang hukum perdata:

1. Kontrak elektronik termasuk dalam kategori yang dinamakan kontrak tidak bernama (innominaat/onbenoemde contract).

2. Terjadinya kesepakatan dalam kontrak elektronik dapat dilihat melalui teori penawaran dan penerimaan sebagai teori yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan saat terjadinya kesepakatan kehendak.

3. Dalam transaksi/kontrak elektronik, prinsip-prinsip dalam hukum kontrak tradisional, harus mengalami modifikasi karena tidak mengenal waktu dan tempat.

4. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. serta perluasan dari alat bukti yang sah sesuai hukum acara di Indonesia.

5. Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah, sama sepeti fungsi tanda tangan tradisonal.

6. Mengatur kontrak elektronik lintas negara yaitu bahwa para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi yang dibuatnya. Jika para pihak tidak secara spesifik melakukan pilihan hukum, maka yang diberlakukan adalah hukum yang berazaskan hukum perdata internasional.

7. UU ITE mengenal mekanisme pengajuan gugatan, baik secara individual maupun perwakilan/class action.

8. UU ITE juga memperluas pengertian hak karya intelektual (HKI) yaitu situs internet dan karya intelektual yang ada di dalamnya.

Tidak ada komentar: