Jumat, 03 April 2009

MAKALAH PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

STUDI KRITIS TERHADAP KINERJA KEPOLISIAN TENTANG SALAH TANGKAP

Oleh : Emillia Arief, SH

“Police as stringing up fraction of glass. Debriss scattering have to trace by its position where. Art string up burden of proof this by police. Fraction network that's such as evidence instructing someone become one who competent get assertion. Stringing up fraction of that difficult glass surely and its high mistake storey level. But police always use various means to obtain;get the fractions evidence of rule of procedure of criminal ( KUHAP). In running that rule, base police have to investigation principles”.

(key word: kinerja polisi, salah tangkap)

A.PENDAHULUAN

Satu abad sebelum masehi Cicero megemukakan hubungan antara hukum dan masyarakat melalui kalimat sederhana “ubi societas, ibi ius”. Dimana ada masyarakat disana ada hukum. Hukum dibentuk oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan mereka. Dengan kata lain hukum dibentuk dan diberlakukan untuk masyarakat demi ketertiban, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.

Pada kenyataannya adalah hukum tidak selalu dipatuhi. Sering terjadi pelanggaran-pelanggaran kaedah-kaedah hukum dalam masyarakat, yang membahayakan keutuhan masyarakat. Untuk mewujudkan ketertiban hukum itu perlu adanya suatu tugas untuk mengawasi agar hukum dipatuhi; mencegah agar tidak terjadinya pelanggaran serta menghukum pelanggar. Pada dasarnya tiga tugas tersebut diatas dapat dilaksanakan oleh masyarakat. Akan tetapi karena adanya kepentingan yang saling bertentangan diantara masyarakat maka tugas tersebut tidak lagi mampu dilaksanakan oleh masyarakat. Tetapi diambil alih oleh negara melalui organ-organ negara.

Kalau kita berfikir bahwa “kita mempunyai polisi, hakim, jaksa, legislative membuat UU dan pengadilan menerapkannya maka akan meyakinkan bahwa sistem ini sangat penting dan berkat itu hukum ditegakan, masyarakat dibebaskan dari unsur-unsur asosial yang menghambat perkembangannya”[1]. Oleh karena itu penting adanya suatu peradilan pidana yang terpadu.

Sistem peradilan pidana menurut Mardjono adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana[2]. Tujuannya adalah mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; serta mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak lagi mengulangi kejahatannya.

Sistem peradilan pidana juga merupakan bentuk reaksi formal terhadap kejahatan. Namun, tidak berarti reaksi yang dilakukan secara ceroboh tanpa adanya perlindungan terhadap HAM. Mulai dari hak untuk disangka tidak bersalah, hak untuk mendapatkan bantuan hukum, hak untuk tidak disiksa, dan beberapa hak lainnya ketika seseorang dinyatakan bersalah.

Terkait dengan hal ini tentu saja sistem peradilan pidana berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan secara profesional, dengan lebih mengedepankan bukti atau fakta yang kuat untuk menyatakan seseorang bersalah atas suatu kejahatan. Serta melaksanakan pidana sesuai dengan tujuan pidana itu sendiri dan hak-hak yang seharusnya diterima terpidana. Keharusan ini mutlak adanya mengingat instrumentasi hukum sangat menitikberatkan kewenangan lembaga penegak hukum bila dibandingkan dengan posisi tersangka, terdakwa, dan terpidana.

Dalam hal terjadinya suatu tindak pidana, kepolisian merupakan lembaga pertama yang langsung berhadapan dengan masyarakat, baik sebagai korban kejahatan, saksi, maupun tersangka. Dengan demikian, jelaslah bahwa lembaga kepolisian mempunyai tugas utama untuk melindungi keamanan dalam negeri dan menjadi penegak hukum utama yang dalam tugas sehari-hari bisa saja mereka mendapat cemooh, tidak dihormati, dan tidak dipercayai masyarakat.

Memang mengatur hubungan polisi dengan masyarakat bagaikan memainkan karet. Kapan karet itu harus ditarik dan kapan karet mesti dilepas. Setidaknya polisi akan menghadapi dua masalah besar. Pertama, polisi yang terlalu harmonis dengan masyarakat acap dipersepsikan bahwa polisi dapat diperlakukan apa saja. Kedua, polisi juga harus membangun pola kerja antara atasan dan bawahan atau sebaliknya. Namun hubungan yang mementingkan komunikasi internal sering mengabaikan kehendak masyarakat.

Masyarakat Indonesia masih melihat sosok polisi dengan gambaran sosok yang garang dan ditakuti. Pandangan seperti ini akan mengganggu polisi yang sedang berusaha menjadi masyarakat sipil, tetapi mempunyai sifat pengayom dan pelindung masyarakat sesuai dengan moto polisi yaitu memberikan rasa aman masyarakat dari rasa takut terhadap kejahatan.

Menurut pendapat Johann Stephan Putter sebaiknya tugas polisi jangan lagi menjadi urusan pemeliharaan kesejahteraan akan tetapi harus dibatasi pada usaha-usaha penolakan bahaya yang mengancam masyarakat atau individu[3]. Pandangan seperti itu ternyata mempunyai pengaruh terhadap sarjana penulis buku-buku baik di bidang politik maupun dibidang ketatanegaraan.

Adapun pandangan-pandangan atau pendapat dari beberapa sarjana tentang apa sebenarnya tugas polisi itu antara lain adalah menurut Mr.Dr.B.Gewin bahwa tugas polisi adalah melakukan tugas tertentu daripada tugas negara melaksanakan perundang-undangan untuk menjamin tata tertib ketentraman dan keamanan, menegakan kewibawaan negara, menanamkan pengertian ketaatan dan kepatuhan kepada masyarakat[4]. Max Iver asal inggris dalam bukunya The Modern State menyatakan bahwa dalam rangka fungsi negara kepolisian dapat kita lihat sebagai bagian dari pada fungsi perlindungan[5]. Fungsi Negara itu dapat digolongkan kedalam : fungsi ketertiban, perlindungan dan fungsi pemeliharaan. Fungsi perlindungan yang dimaksud adalah berupa menjamin hidup dan hak milik daripada masyarakat; wewenang menegakan da memberi perlindungan masyarakat menurut hukum tertentu, menegakan dan memaksakan hak-hak dan kewajiban masyarakat menurut hukum yang telah ditentukan. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa tugas polisi secara umum adalah memelihara kemanan dan ketertiban. Tetapi fenomena salah tangkap menjadikan masyarakat merasa tidak terlindungi lagi. Pada kasus salah tangkap malah polisi lah yang menjadikan masyarakat tidak aman dan terlindungi. Tidak aman karena mereka tidak bersalah tetapi dipaksa mengaku bersalah dan tidak terlindungi karena polisi sebagai harapan masyarakat lah yang justru melanggar hak-hak masyarakat.

        Kita sebagai masyarakat tentunya akan sangat bangga memiliki polisi yang tegas namun santun dalam menjalankan hukum. Bahkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, anggota Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) memiliki kewenangan yang bersifat diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri. Namun UU itu juga mensyaratkan anggota polisi agar tindakan harus berdasarkan hukum, mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak azasi manusia. Namun, semua itu masih ramai pada tataran slogan.
               Amanat Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan  bahwa peran utama polisi adalah memelihara keamanan  dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan pelayanan kepada masyarakat. Berdasar­kan amanat undang-­undang tersebut polisi seharusnya mempunyai hubungan yang baik dengan masyarakat dalam rangka pengabdian diri kepada masyarakat. Akan tetapi, sampai saat ini masyarakat masih beranggapan bahwa polisi belum memberikan pengayoman seperti yang mereka harapkan.

Banyaknya kasus salah tangkap akhir-akhir ini terhadap seseorang atau beberapa orang yang tidak bersalah menunjukkan tidak cermat atau cerobohnya polisi dalam menjalankan tugasnya. Kita diingatkan kisah klasik Sengkon dan Karta (1974) yang dijebloskan ke penjara karena dituduh merampok dan membunuh, hal yang tidak pernah mereka lakukan terhadap korban suami-istri Sulaiman dan Siti Haya di Desa Bojong, Bekasi. Atau Budi Harjono yang disangka membunuh ayah kandungnya tahun 2002 di Bekasi ternyata bernasib sama karena tidak pernah membunuh ayahnya sendiri. Tahun 2007, terjadi peradilan sesat atas Risman Lakoro dan Rostin Mahaji, warga Kabupaten Boalemo, Gorontalo, dan menjalani hukuman di balik jeruji besi atas pembunuhan anak gadisnya, Alta Lakoro. Namun, pada Juni 2007, kebenaran terkuak, korban masih hidup dan muncul di kampung halamannya.

Kejadian paling akhir adalah kasus Asrori, korban ke-11 yang diakui Very Idam Henyansyah alias Ryan, si pembunuh berantai. Secara mengejutkan, kematian Asrori terkait dengan pembunuhan demi pembunuhan yang dilakukan oleh Ryan. Berdasarkan pengakuan Ryan, dan tes DNA yang dilakukan oleh Kepolisian ditemukan fakta bahwa pelaku pembunuhan terhadap Asrori bukan ketiga orang yang disangka sebelumnya, melainkan Ryan. Menurut ketiga tersangka, mereka tidak tahan dengan penyiksaan aparat sehingga terpaksa mengaku. Meski Mabes Polri lalu meralat kejadian kesalahan penangkapan itu, sementara itu tiga orang telah ditahan karena sudah berstatus terpidana dan terdakwa atas kasus pembunuhan yang menurut mereka- Devid Eko Prianto, Imam Hambali alias Kemat yang telah divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Jombang 10 tahun lebih, serta Maman Sugianto alias Sugik yang sedang disidang Pengadilan Negeri Jombang-tidak pernah mereka lakukan.

Bayangkan, apabila mereka dituntut atas hukuman mati terhadap kejahatan yang tidak pernah dilakukannya, dan kemudian dieksekusi. Bagaimana mungkin orang tidak bersalah mau mengakui kejahatan yang tidak dilakukannya? Jawaban dari pertanyaan ini tentu saja terkait dengan bagaimana kinerja polisi dalam menjalankan tugasnya tersebut khususnya dalm hal mendapatkan pengakuan orang-orang yang disangka bersalah. Dalam praktik, agar tersangka mengakui perbuatannya, penyidik kepolisian menggunakan berbagai cara, termasuk kekerasan, dan hampir semua korban salah tangkap mengalaminya. Jadi dalam kasus salah tangkap, polisi juga patut dipertanyakan kualitas kerjanya dalam hal melakukan penyidikan, yang berujung salah menemukan tersangkanya.

Sayangnya lagi, salah tangkap tersebut kemudian dilegitimasi oleh pihak penegak hukum yang seharusnya menjadi alat kontrol bagi kepolisian, mulai dari kejaksaan hingga hakim. Dinamika pemeriksaan berkas perkara berada di kejaksaan, mekanisme mulai dari P18 sampai P21 ada di kejaksaan. Kejaksaan seharusnya memiliki alat kontrol, apakah polisi sudah melakukan penyidikan dengan lengkap atau belum. ''Dalam kasus Asrori, jaksa langsung memberikan P21 tanpa diperiksa terlebih dahulu.''. Kenyataan ini, memperlihatkan bahwa pemeriksaan di tingkat jaksa itu lemah.
Karena kejaksaan sudah mengetahui berkas tersebut tidak lengkap, kejaksaan mengolah kembali berkas tersebut. ''Di polisi sudah 'digoreng', di jaksa 'digoreng lagi'. Jadilah, faktanya ditambahi. Pada konteks inilah hakim seharusnya melakukan pemeriksaan dengan lebih saksama, karena hakim bertanggung jawab terhadap pemeriksaan di tahap akhir.

Ada beragam versi tentang siapa yang patut dipersalahkan dalam maraknya kasus salah tangkap di Indonesia. Mengingat kasus salah tangkap juga berujung pada salah vonis, maka banyak yang beranggapan bahwa hakimlah yang kurang teliti dalam pemeriksaan. Tetapi tidak sedikit juga yang beranggapan bahwa masalah ini muncul dari buruknya kinerja/profesionalitas Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), karena berkaitan dengan fungsi penyidik untuk mencari dan menemukan bukti guna menemukan tersangkanya yang merupakan tahap awal proses dalam pemerikasaan suatu kasus.

Kasus salah tangkap oleh jajaran kepolisian terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana membuktikan aparat penegak hukum tidak profesional dan cenderung memaksakan diri untuk memenuhi target pengungkapan dan penuntasan terhadap suatu kasus. Kasus-kasus yang banyak mendapat sorotan masyarakat polisi sering bertindak tidak sesuai prosedur dan memaksakan diri untuk segera menuntaskan kasus tersebut sehingga berdampak pada salah tangkap.

Dalam banyak kasus, salah tangkap diiringi dengan penyiksaan pada saat pemeriksaaan. Orang yang ditangkap pun karena tidak tahan penyiksaan, seringkali menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, yang membuat pengadilan akhirnya memutuskan bersalah. Ada sejumlah kasus yang diindikasikan polisi merekayasa termasuk dalam keterangan tersangka di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dengan tekanan-tekanan maupun intimidasi sehingga orang tersebut terpaksa mengakui BAP meskipun itu bukan perbuatannya. Bukan rahasia lagi jika polisi masih menggunakan cara-cara konvensial untuk membuat BAP seperti tekanan fisik dan intimidasi sehingga apa yang tertuang dalam BAP tidak murni lagi dan hanya untuk memenuhi target polisi.

Berbagai sorotan tajam diberikan oleh masyarakat ke­pada polisi atas tindakan tidak terpuji sejumlah anggota kepolisian terkait dengan penyalahgunaan wewenang dan jabatan, korupsi, tindak kekerasan, pelanggaran pidana bahkan HAM. Praktek kejahatan sejumlah ‘ok­num’ polisi tersebut pada akhirnya berimbas pada terce­marnya nama POLRI, dimana masyarakat pada akhirnya memberikan penilaian dan pencitraan POLRI yang negatif dan tidak bersahabat dengan publik, sehingga berdam­pak pada hilangnya kepercayaan masyarakat kepada polisi.

Kalau mau diungkap secara jujur, sebenarnya masih banyak kasus salah tangkap yang tidak terungkap yang dilakukan aparat kepolisian, tetapi karena para korban salah tangkap selalu berada di bawah ancaman sehingga mereka menerima nasib dengan menjalani hukuman atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Sistem kerja aparat kepolisisan harus dievaluasi, karena penetapan orang tak bersalah sebagai tersangka adalah sebuah kekeliruan besar dan kasus ini adalah suatu bentuk pelangaran HAM.

Kisah salah tangkap memang tidak menggambarkan citra kepolisian secara keseluruhan. Namun, sudah menjadi pengetahuan umum praktik penyiksaan tahanan serta kekerasan oleh kepolisian sering menghiasi keseharian tugas kepolisian. Harapan terhadap kepolisian sebagaimana bunyi Pasal 13 (c) UU No 2 Tahun 2002, yaitu “Kepolisian RI bertugas memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”, sepertinya masih jauh panggang dari api.

Ada dua permasalahan yang ingin dibahas dalam tulisan ini terhadap masaknya kasus salah tangkap ini. Pertama, Bagaimana profesionalitas polisi dalam menjalankan tugasnya?. Kedua, bagaimana mungkin orang yang tidak bersalah mau mengakui kejahatan yang tidak pernah dilakukannya? Jawaban dari pertanyaan ini tentu saja terkait dengan pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara aparat dalam tulisan ini adalah polisi mendapatkan pengakuan dari orang-orang yang disangka bersalah? Mengapa “pengakuan” tersangka yang ditekankan, dikarenakan bukti-bukti lain atau fakta akan sulit didapat bila memang tidak bersalah.

Dalam tulisan ini penulis mencoba menggali permasalahan dari penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum khususya kepolisian. Meningkatnya fenomena kasus salah tangkap di Indonesia perlu kita cermati dari segi profesionalitas aparat penegak hukum dalam hal ini Profesionalitas Kepolisan Republik Indonesia.

B. PEMBAHASAN

B.1.Polisi Ideal

Polisi yang ideal pada masa sekarang adalah polisi yang berusaha sebagai pengayom, pembina masyarakat. Akan tetapi di sisi lain, polisi harus tetap menjadi sosok garang, menakutkan, dan tidak kompromi terhadap kejahatan. Dengan demikian, harus dihindarkan tindakan-tindakan yang meruntuhkan keluhuran profesinya misalnya penanganan perkara dan pencegahan kejahatan yang memakai cara-cara kekerasan, serta perilaku korup berupa meminta biaya dari masyarakat yang memerlukan penyelesaian perkaranya.

Polisi yang ideal pernah dikemukakan Hugeng Imam Santoso (mantan Kapolri) yang mengatakan bahwa “moto polisi adalah fight crime, help deliquence, love humanity dalam arti walaupun crime tetap akan dicegah dan diberantas, polisi selalu berperang dengan kejahatan, tetapi tidak berarti bahwa pelakunya mutlak untuk dimusnahkan. Hukuman pidana tetap diperlukan demi keadilan dan demi pencegahan, tetapi mereka perlu ditolong, ditunjukkan ke arah yang benar”.

Membicarakan polisi Indonesia tidak bisa dilakukan tanpa membicarakan diri kita sendiri juga, pemerintahnya, masyarakatnya, keadaan sosialnya, dan seterusnya. Polisi dan masyarakat yang ada secara bersama-sama adalah gagasan yang mendasari pencitraan ”polisi sipil” selama ini[6]. Pada waktu masih aktif mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Sadjipto Raharjo melihat polisi ideal sebagai polisi yang protagonis, bukan antagonis. Zaman polisi antagonis sudah lewat bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan yang otoriter. Pemerintahan atau orde yang demokratis membutuhkan polisi-polisi yang protagonis, yang menempatkan telinganya di jantung rakyat, bukan penguasa[7]. Namun, ini sungguh suatu perubahan yang sangat, sangat, dan sangat sulit serta berat untuk diwujudkan[8].

Sejak keluar dari ABRI pada tahun 1999, dan secara ajeg menjadi POLRI yang mandiri dan independen, bergulirlah istilah profesionalisme polisi. Di sini, sosok polisi yang ideal berusaha dirumuskan. Maka terangkumlah suatu pengertian yang disepakati oleh masyarakat dunia, bahwa polisi yang ideal adalah polisi sipil yang demokratis. Polisi sipil maksudnya, polisi harus mengedepankan cara-cara sipil untuk menyelesaikan persoalan sosial (termasuk kejahatan) yang mengemuka di masyarakat. Jelas, polisi wajib menjauhi cara kekerasan dan militeristik dalam bertugas. Polisi itu beda dengan tentara. Polisi bertugas memberi rasa aman kepada masyarakat. Sementara tentara kerjanya bertempur mempertahankan negara.

Dalam rangka penegakan hukum, hendaknya tetap dijaga code of conduct law officer yang menekankan kepada perlindungan hak asasi manusia yang meliputi hak asasi tersangka, hak asasi masyarakat, dan hak asasi korban. Polisi ideal adalah polisi yang bisa melindungi secara hukum pelaku, korban, dan masyarakat[9]. Perlindungan hukum kepada tersangka berupa kesempatan atau access to legal councel (bantuan hukum), perlindungan hukum terhadap korban berupa informasi kepada korban tentang perkembangan kasusnya, dan perlindungan terhadap masyarakat bahwa polisi benar-benar telah menangani kasusnya sehingga masyarakat percaya bahwa keadilan akan ditegakkan[10].

B.2. Tugas dan Fungsi Kepolisian Sebagai Bagian dari Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana (SPP) merupakan bentuk reaksi formal terhadap kejahatan. Namun, tidak berarti reaksi yang dilakukan secara ceroboh tanpa adanya perlindungan terhadap HAM. Mulai dari hak untuk disangka tidak bersalah, hak untuk mendapatkan bantuan hukum, hak untuk tidak disiksa, dan beberapa hak lainnya ketika seseorang dinyatakan bersalah. Terkait dengan hal ini tentu saja SPP berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan secara profesional, dengan lebih mengedepankan bukti atau fakta yang kuat untuk menyatakan seseorang bersalah atas suatu kejahatan. Serta melaksanakan pidana sesuai dengan tujuan pidana itu sendiri dan hak-hak yang seharusnya diterima terpidana. Keharusan ini mutlak adanya mengingat instrumentasi hukum sangat menitikberatkan kewenangan lembaga penegak hukum bila dibandingkan dengan posisi tersangka, terdakwa, dan terpidana

Polisi lebih sering dipersalahkan daripada jaksa dan hakim, karena di lapangan polisi bersentuhan dengan masyarakat lebih banyak dibandingkan dengan jaksa dan hakim. Polisi adalah gate-keeper (pintu gerbang) sistem peradilan pidana (SPP). Tidak mengherankan bila citra sistem peradilan pidana sering diidentikkan dengan kinerja polisi. Fungsi penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi bisa diartikan sebagai bagian dari mekanisme sistem peradilan pidana. Dengan demikian, tanggung jawab polisi sangat besar sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Lembaga Kepolisian memang mendapat perhatian utama, karena lembaga inilah yang menjadi ujung pangkal dari keseluruhan proses peradilan pidana. Kepolisan harus bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa semua tindakan dalam rangka penegakan hukum harus dapat dirasakan sebagai suatu penegakan keadilan bagi masyarakat. Suatu keputusan yang diambil oleh polisi dianggap adil oleh masyarakat apabila mekanisme kontrol horizontal berjalan efektif

Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan pada Pasal 4 UU POLRI. Dalam mencapai tujuan tersebut diatur dalam Pasal 13 yaitu Kepolisian Negara Republik mengemban tugas pokok antara lain memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Ketiga esensi tugas pokok bersifat simultan dan tidak bersifat hierarkis.

Tujuan Kepolisian adalah sejalan dengan tujuan masyarakat dan negara, yaitu untuk kepentingan ketertiban pribadi dan pada rakyat Indonesia seluruhnya[11]. Kepentingan rakyat dan pemerintah menjadi satu diperjuangkan bersama yaitu polisi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Ini berarti bahwa rakyat diberi hak dan kesempatan seluas-luasnya untuk setiap saat megontrol jalannya alat-alat perlengkapan negara termasuk polisi.

Status polisi sebagai komponen/unsur/subsistem dari sistem peradilan pidana sudah jelas terlihat dalam perundang-undangan yang berlaku saat ini (baik dalam KUHAP maupun dalam Undang-undang Kepolisian No.28/1997 yang sudah diganti dengan UU No.2/2002) yakni adalah sebagai penyelidik dan penyidik[12]. Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidik menurut KUHAP haruslah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan.

Polisi bagai merangkai pecahan gelas. Puing-puing yang berserakan harus ditelusuri posisinya di mana. Seni merangkai inilah yang harus dibuktikan oleh polisi. Rangkaian pecahan itulah yang dimaksud sebagai bukti-bukti yang mengarahkan seseorang menjadi orang yang layak mendapatkan dakwaan. Merangkai pecahan gelas itu pasti sulit dan tingkat kesalahannya tinggi. Namun polisi selalu menggunakan berbagai cara untuk memperoleh bukti pecahan-pecahan tersebut dari ketentuan hukum acara pidana (KUHAP). Dalam menjalankan ketentuan itu, polisi harus berlandaskan pada prinsip-prinsip penyidikan.

Pada tahap penyidikan polisi mencari dan mengumpulkan bukti yang terjadi. Lalu polisi membuat berita acara. Ketika berkas-berkas perkara (berita acara, alat bukti, barang bukti) dari kepolisian dinyatakan sudah lengkap oleh kejaksaan (P21), maka kejaksaan menyiapkan penuntutan untuk mengajukan tersangka ke depan pengadilan (menjadi terdakwa). Apabila hakim merasa sudah tersedia cukup bukti bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan tersebut, keluarlah vonis hukuman penjara. Dilihat dari prosesnya, maka tahapan-tahapan tadi saling tergantung satu sama lain.

Pada kasus salah tangkap, dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka sering dilakukan dengan mekanisme yang justru melanggar Hak Asazi Manusia (HAM), seperti pelanggaran hak dalam pendampingan bantuan hukum dan hak untuk tidak disiksa. Kasus yang disinggung di awal juga menambah panjang daftar pelanggaran HAM dalam proses pemeriksaan. Pengakuan tersangka memang dapat dijadikan dasar penindakan, namun bukan berarti pembuktian faktual sudah tidak lagi menjadi bahan yang perlu dipersiapkan dengan serius.

Hukum Acara Pidana kita telah mengatur masalah pembuktian. Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah ialah keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa. Dalam pembuktian KUHAP meminta adanya dua alat bukti dan tidak perlu ada pengakuan dari tersangka. Namun, polisi umumnya mengejar pengakuan dari tersangka. Dari sudut hukum acara pidana, cara-cara pemaksaaan seperti ini tidak dapat dibenarkan. Artinya, telah terjadi sebuah tindak pidana yang dapat diperberat karena polisi yang memaksanya memiliki kekuasaan atas nama undang-undang.

Beberapa bentuk pelanggaran terhadap hak administratif dan prosedural penyelidikan dan penyidikan yaitu, pertama: penyidik tidak memberitahukan hak tersangka untuk didampingi penasihat hukum, kedua: pemaksaan penarikan kuasa penasihat hukum, dan ketiga: penyidik memberikan keterangan pers dengan mengabaikan asas praduga tidak bersalah. Sementara itu, bentuk utama pelanggaran terhadap diri pribadi (jiwa/raga dan harta) tersangka adalah terjadinya penyiksaan yang dilakukan oleh penyidik. Penelitian LBH Jakarta pada tahun 2008 juga memperkuat indikasi pelanggaran hak terhadap diri pribadi ini, khususnya penyiksaan.

Instrumentasi internasional pada dasarnya telah memberikan pedoman dan aturan yang jelas tentang perlindungan hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana[13]. Prinsip ke-6 dari Prinsip-prinsip Perlindungan Semua Orang saat Penahanan dan Pemenjaraan (Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1988) menegaskan, bahwa tidak seorang pun yang berada dalam penahanan atau pemenjaraan dapat dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan yang kejam tidak manusiawi atau merendahkan martabat keadaan apapun, tidak dapat dipakai sebagai pembenaran untuk menyiksa/perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Prinsip-prinsip ini juga menegaskan hak seseorang yang ditahan untuk membela diri dan mendapatkan bantuan hukum dan pengaduan keluhan.

B.3. Kinerja Kepolisian Dalam Kasus Salah Tangkap

Fungsi kepolisian sebagaimana yang tertuang pada Pasal 2 Undang-undang No 2 tahun 2002 adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Pasal 4 UU POLRI menegaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Komite Anti-penyiksaan PBB dalam laporannya, 5-7 Mei 2008, menyatakan, praktik penyiksaan yang melanggar HAM di Indonesia cenderung meluas meski kita merupakan salah satu negara pihak yang telah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia melalui UU No 5/1998. Berikut adalah Tabel Kasus-Kasus Salah Tangkap, Penyiksaan dan Peradilan Sesat yang terjadi pada tahun 2007 - 2008[14] :

No

Tanggal

Korban

Tuduhan

Pelaku

Lokasi

1

Agustus 2008

Kuca Barus

Pembunuhan

Mapolsek Patumbak

Medan

2

April 2008

Yayang; Pandu

Cecep; Andri

Anggota geng motor

Mapolresta Bandung Tengah

Bandung

3

April 2008

Nur Kholis

Pencurian

Polsek Kembang Tengah

Jepara

4

Maret 2008

Alan Maulana

Narkoba

-

Koja, Jakarta Utara

5

Februari 2007

Emril Sinaga; Togar Silaban; Kasimullah Pasaribu

Narkoba

Polsek Na IX-X

Labuhan Batu

6

April 2008

Yayang; Pandu Cecep; Andri

Anggota geng motor

Mapolresta Bandung Tengah

Bandung

7

Juli 2007

Ibrahim Tutu Hamka; Sudirman Yusuf alias Sudi

Pemerkosaan

Mapolresta Makassar Timur

Makassar

8

Juni 2007

Hendrik Sikumbang

Perampokan

Kepolisian Pekanbaru

Pekanbaru

9

2007

Imam Hambali; David Eko Priyanto; Maman Sugianto

Pembunuhan

Polres Jombang

Jombang

10

2007

Ii Darul Konai

Pembunuhan

Polres Tasikmalaya

Tasikmalaya

Terkait masalah Asrori, Kapolri Jenderal Pol Sutanto menyatakan, POLRI akan meminta maaf dan sekaligus membebaskan para korban salah tangkap, jika polisi terbuki salah menangkap pelaku kasus pembunuhan Asrori di Jombang. Polri juga akan mengambil tindakan terhadap petugas yang salah menangkap sesuai kesalahannya. Kapolri mengatakan bila ditemukan kesalahan, ia yakin itu bukan disengaja, tapi kelalaian. ”Saya kira bukan ini kan satu keinginan dari penyidik membongkar suatu kasus bisa saja terjadi bukan penyimpangan ya, tetapi kelalaian dalam pelaksanaannya dan bukan kesengajaan tentunya,” katanya[15]. Namun, pernyataan maaf Kapori itu tentu saja tidak menyelesaikan masalah sampai keakarnya.

Kesalahan menangkap seolah-olah mencerminkan bahwa telah terjadi sebuah kesalahan prosedur. Apakah kasus ini merupakan kesalahan prosedur? Apakah lantaran kesalahan prosedur, maka kasus salah-tangkap dapat bebas dari tuntutan pidana? Dalam kasus-kasus administrasi, maka kesalahan prosedur hanya dikenakan kesalahan administratif, bisa berupa pangkat diturunkan atau pemecatan. Dalam kasus Asrori ini, tentu saja ini bukan hanya masalah kesalahan prosedur. Kesalahan dalam menangkap dan kesalahan prosedur merupakan dua hal yang berbeda. Keduanya terjadi dalam hal kasus ini. Adalah salah bila menganggap bahwa kesalahan menangkap terjadi karena kesalahan prosedur, melainkan karena ada sebuah niat yang jahat terhadap orang lain. Apalagi, bila memang terjadi pemaksaan untuk mengakui perbuatan tersebut. Apabila memang tidak ada bukti permulaan yang cukup, mengapa orang ditangkap? Bukankah ini namanya sebuah niat yang jahat.

Pasal 88 Kitab Undang-undang Pidana (KUHP) Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan. Dalam KUHP kita, dikenal istilah pemufakatan jahat. Apabila terpidana memang ditekan oleh polisi untuk mengakui perbuatan orang lain, maka perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai pemufakatan jahat (kan, polisinya tidak seorang) bukan sebuah kesalahan prosedur. Sebuah pemufakatan jahat tidak dapat dilindungi oleh undang-undang. Jadi, apabila polisi yang melakukannya, secara otomatis (demi hukum), hak imunitas yang diberikan undang-undang bagi polisi tidak dapat diterapkan. Kalau mau diterapkan kepada jaksa dan hakim, maka kedua pihak ini pun harus bertanggung jawab secara pidana karena telah berbuat kesalahan, baik dalam menuntut maupun dalam mengadili. Memang, kelemahan hukum kita adalah tidak ada pengaturan yang jelas mengenai kesalahan menangkap ini secara khusus bagi polisi. Walaupun demikian, tetap saja, sebuah kejahatan harus dihukum.

Bab XVIII Tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang Pasal 335 KUHP ayat (1) “Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang
tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”. Pasal 335 KUHP dapat diterapkan bagi semua orang - 'barang siapa' (termasuk polisi) - yang memaksa orang lain untuk mengakui suatu perbuatan yang melanggar hukum. Dalam hal ini, mengakui sebuah perbuatan yang tidak dilakukannya adalah kejahatan berbohong (apalagi di bawah sumpah di depan pengadilan).

Coba kita bandingkan dengan kejahatan lain, seperti tanggung jawab pidana seorang pilot atas kecelakaan pesawat yang mengakibatkan tewasnya para penumpang. Atau tanggung jawab seorang dokter atas pekerjaan yang dilakukannya. Keduanya dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Dari sini, dapat disimpulkan siapa pun, baik atas perintah undang-undang atau bukan, tetap dapat dipidana sesuai dengan kejahatannya. Seorang polisi, jaksa atau hakim yang keliru menjalankan tugasnya dapat dikenai pidana. Undang-undang tidak boleh digunakan sebagai tameng untuk menutupi sebuah kesalahan yang notabene adalah kejahatan itu sendiri.

Berbagai kesalahan polisi hanya akan ketahuan manakala kasus-kasus yang ditangani telah selesai. Baru terungkap setelah proses di pengadilan atau beberapa tahun kemudian. Sebab kejahatan itu pasti terungkap, meski pengungkapannya bukan secara sengaja dilakukan oleh polisi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi polisi terjebak kesalahan itu. Pertama, dinamika kerja begitu kompleks. Polisi dihadapkan pada kasus-kasus yang harus disidik, mulai kasus konflik dalam rumah tangga hingga teror bom. Baik yang bersifat kasus delik aduan maupun bukan delik aduan. Amat banyak kejahatan karena laporan masyarakat atau hasil patroli harus ditindaklanjuti. Tentu masyarakat juga berharap, setiap kasus dapat diselesaikan secara cepat. Namun cara menyelesaikan kasus-kasus kejahatan juga mendapat sorotan masyarakat. Polisi yang bersikap tegas akan mendapat reaksi keras dari masyarakat. Polisi yang mengikuti prosedur secara lebih hati-hati pun akan dicaci amat lamban. Bahkan untuk berbagai kasus yang mendapat perhatian masyarakat, seperti narkoba, polisi harus mengikuti prosedur, misalnya barang bukti yang jelas. Padahal, apa yang dirasakan dan dilihat masyarakat belum tentu bisa dijadikan barang bukti. Tak ayal lagi, polisi harus melepas tersangka karena kurang bukti. Masyarakat lalu menuduh polisi main mata dengan tersangka. Banyaknya kasus yang diselesaikan (clearance rate) juga dikaitkan dengan profesionalitas polisi. Model penanganan polisi secara cepat seperti ban berjalan: setiap kasus yang masuk ke institusi kepolisian harus diselesaikan secara cepat. Namun kualitas penanganan juga seperti tanpa memperhatikan aspek humanitas. Polisi dianggap kejam dan mengabaikan hak-hak masyarakat untuk mengontrol polisi.

Kedua, sumber daya manusia polisi menentukan tingkat pelayanan dan penanganan kasus-kasus kejahatan. Polisi harus lebih cerdas dari tentara karena musuh polisi berkaitan dengan perilaku manusia, sedangkan tentara lebih mudah mengidentifikasi musuhnya. Perilaku manusia dapat bersifat nyata, tapi lebih banyak bersifat pseudo (samar-samar). Dinamika perilaku sosial menyulitkan polisi untuk dapat memprediksi apa yang akan terjadi. Polisi lebih sering mendapat laporan dari masyarakat tentang apa yang sudah terjadi. Polisi yang menangani perkara mestinya memiliki ilmu pengetahuan tentang kepolisian dan ilmu-ilmu lain (sosiologi, kriminologi, psikologi, komputer, ekonomi, hukum, dan lain-lain). Tidak bisa lagi memaksa orang mengaku dengan cara-cara lama. Teknologi kepolisian sudah berkembang. Polisi harus lebih cermat dan membangun kesimpulan, yang didasarkan pada bukti atau keterangan saksi. Cara memperoleh bukti tentu tidak lagi statis, tapi ditunjang dengan berbagai metode pembuktian yang canggih.

Ketiga, keterbatasan anggota kepolisian, karena profesionalismenya sebenarnya bisa dibarengi dengan penyertaaan pengacara pada tahap pendahuluan. Namun menyertakan pengacara dalam proses penyidikan juga menjadi persoalan pelik. Kepelikan itu dipengaruhi faktor: (1) resistensi polisi untuk enggan disertakan pengacara, (2) tersangka tidak mampu menyertakan pengacara, (3) negara masih terbatas membantu kelompok masyarakat tak mampu untuk disertakan pengacara. Apalagi, polisi atas nama negara melakukan proses penyidikan dengan keterbatasan anggaran yang dimilikinya.
Keempat, proses penyidikan memang bukan persoalan mudah. Polisi harus mengerutkan dahi bagaimana menghadapi berbagai perilaku tersangka. Sebab para tersangka acapkali berbohong, berkelit, membantah, atau tidak mau mengakui kejahatan yang dilakukannya. Berdasarkan berbagai perilaku penjahat yang double-standard itulah, para penyidik sering menyamaratakan bahwa semua orang (yang diinterogasi) adalah orang bersalah. Sampai akhirnya, berdasarkan suatu kesimpulan, orang itu tidak terbukti kesalahannya.

Kelima, karena gengsi atau target atasan harus menyelesaikan kasus tertentu dalam waktu cepat. Pengabaian hak-hak tersangka acap menonjol. Sehingga berbagai metode ilmiah penyidikan dikesampingkan. Yang penting, pengakuan tersangka, yang kemudian malah menjadi boomerang bagi pihak kepolisian dalam kasus salah tangkap.

Bicara tentang Profesionalisme, ada batasan menarik yang disampaikan oleh pakar kepolisian Amerika Serikat, Donald C.Whitlan, yang membagi kriteria profesi sebagai berikut[16] : menggunakan teori ilmu pengetahuan untuk pekerjaannya; keahlian yang didasarkan pada pelatihan atau pendidikan jangka panjang; pelayanan yang terbaik bagi pelanggannya; memiliki otonomi dan cara mengontrol perilaku anggota profesi; mengembangkan kelompok profesinya melalui asosiasi, seperti The International Chief Of Police Association yang cukup terkenal; memiliki kode etik sebagai pedoman melakukan profesinya; memilih profesinya sebagai pengabdian berdasarkan panggilan jiwanya; dan memiliki kebanggaan terhadap profesinya, bertanggung jawab penuh atas monopoli keahlian profesi.

Melalui Keppres No 50 tahun 2006 tertanggal 9 Mei 2006 dibentuk Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kompolnas yang merupakan bagian dari amanat UU No 2 Tahun 2002 ini dimaksudkan untuk mengawasi kinerja Polri agar sesuai dengan kapasitasnya yaitu sebagai pelayan, pen­gayom, dan pelindung masyarakat. Kehadiran komisi ini di­harapkan mampu menjawab problem kekecewaan masyara­kat terhadap rendahnya pelayanan/kinerja perilaku yang menyimpang, dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat kepolisian-selama ini masyarakat tidak tahu siapa pihak yang berwenang dan berkompeten untuk menanganinya.

Menurut Barda Nawawi Arief, sistem dan undang-undang saja tidak cukup ntuk menciptakan peradilan yang utuh: “Kebijakan pengembangan/peningkatan kualitas peradilan tentunya terkait dengan berbagai aspek yang mempengaruhi kualitas peradilan/penegakkan hukum, berbagai aspek itu dapat mencakup kualitas individu (SDM), kualitas institusional/kelembagaan, kualitas mekanisme tata kerja/manajemen, kualitas sarana dan prasarana, kualitas sustansi hukum/perundang-undangan, dan kualitas lingkungan (kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya termasuk budaya hukum masyarakat)[17].

Pelajaran dari berulangnya salah tangkap dan salah hukum bagi semua aparat penegak hukum agar tidak terulang lagi di Indonesia adalah male enim nostro iure uti non debemus, yang artinya adalah janganlah kita salah mempergunakan hukum kita.

C.KESIMPULAN DAN SARAN

Keberadaan polisi sebagai penegak hukum yang bertugas menjaga ketertiban, memberi rasa aman kepada masyarakat memang belum sempurna. Untuk itu, diperlukan aparat kepolisian yang sungguh-sungguh committed pada keinginan untuk mencapai supremasi hukum yang berkeadilan. Kondisi ideal seperti ini hanya dapat terwujud apabila ada dukungan manajemen yang efesien dan efektif dengan bersandar kepada objektivitas dan tranparansi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan nasib polisi. Masyarakat pun mempunyai peranan yang besar dalam menciptakan polisi yang ideal. Sinergi antara masyarakat dan kepolisian yang demokratis dan berorientasi kepada hak asasi manusia akan menciptakan suatu penegakan hukum yang berkeadilan.

Mungkin ke depan, dalam pendidikannya, polisi juga perlu diajarkan bagaimana menjunjung tinggi norma-norma moral, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dengan cara inilah, kita boleh berharap anggota polisi kita benar-benar bisa diandalkan menjadi pengayom, pelindung, pengaman dan mitra masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Andi, Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2005

Anthon, F Susanto, Wajah Peradilan Kita, Refika Aditama, Bandung, 2004

L.C.Hulsman, Selamat Tinggal Hukum Pidana, Sebelas Maret University Press, Semarang, 1995

Nawawi Arief, Barda, Beberapa Aspek Kebijakan penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002

Nawawi Arief, Barda, Bunga Rampai Kebijkakan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002

Nawawi Arief, Barda, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta, 2008

Prodjohamidjojo, Martiman, Penylidikan dan Penyidikan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982

Warsito, Hadi Utomo, Hukum Kepolisian di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tetang Kepolisian Republik Indonesia

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Jurnal

A.A. Oka Mahendra, Permasalahan Dan Kebijakan Penegakan Hukum, Jurnal Legislasi Indonesia, Vo.1 No.4, Desember 2004, Depkum-HAM RI, Jakarta Selatan

Internet

www.ksemar_sumut.com

www.kedaulatan rakyat.com

www.kompascetak.com

www.pikiran rakyat.com



[1] L.C.Hulsman, Selamat Tinggal Hukum Pidana, Sebelas Maret University Press, Semarang, 1995, hal.43

[2] Anthon F Susanto, Wajah Peradilan Kita, Refika Aditama, Bandung, 2004,hal.74

[3] Warsito Hadi Utomo, Hukum Kepolisian Di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, 205, hal.88

[4] Ibid, hal.89

[5] Ibid

[6] Sadjipto Rahardjo,Apa Yang Terjadi Pada Polisi Dan Kita, dimuat pada www.kompascetak.com, (terakhir kali dikunjungi pada tanggat 4 januari 2009 jam 15.00 WIB)

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] Edi Setiadi, Polisi Pengayom dan Penegak Hukum, dimuat di www.Pikiran Rakyat .com, (Terakhir kali dikunjungi 4 januari 2009, jam 15.00 WIB)

[10] Ibid

[11] Warsito Hadi Utomo, op. cit, hal.116

[12] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana prenada Media group, Jakarta, 2007, hal.48

[13] www.tabaos.htm

[14] Press release, Kelompok Kerja untuk Advokasi Menentang Penyiksaan (Pokja Anti Penyiksaan), 18 September 2008

[15] www.kedaulatan rakyat.com

[16] www.ksemar_sumut.com, terakhir dikunjungi pada tanggal 4 Januari 2009, pukul 15.00 WIB

[17] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Pengembangan Peradilan, Seminar Nasional, “Mafia Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia, Semarang, 1999, hal 1

Tidak ada komentar: