Jumat, 03 April 2009

MAKALAH TEORI HUKUM

LATAR BELAKANG DAN PERKEMBANGAN

CRITICAL LEGAL STUDIES

Oleh: Emillia Arief, SH

A. LATAR BELAKANG CRITICAL LEGAL STUDIES

Teori hukum tradisional mengajarkan, hukum merupakan seperangkat aturan dan prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ketertiban dan kebebasannya. Para penganut teori hukum tradisional berkeyakinan bahwa hukum haruslah netral dan dapat diterapkan kepada siapa saja secara adil, tanpa memandang kekayaan, ras, gender atau harta. Meskipun mereka tidak satu pendapat mengenai apakah dasar yang terbaik bagi prinsip-prinsip hukum, yakni apakah dasarnya adalah wahyu Tuhan, etika sekuler, pengalaman masyarakat, atau kehendak mayoritas. Akan tetapi, umumnya mereka setuju terhadap kemungkinan terpisahnya antara hukum dan politik, hukum tersebut menurut mereka akan diterapkan oleh pengadilan secara adil[1].

Para teoritisi postmodern percaya, pada prinsipnya hukum tidak mempunyai dasar yang objektif dan tidak ada yang namanya kebenaran sebagai tempat berpijak dari hukum. Dengan kata lain, hukum tidak mempunyai dasar berpijak, yang ada hanya kekuasaan. Akhir-akhir ini, mereka yang disebut juga dengan golongan antifoundationalistis, telah mendominasi pikiran-pikiran tentang teori hukum dan merupakan pembela gerakan Critical Legal Studies[2]. Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah, bermoral atau tidak bermoral melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan dan dijalankan oleh kelompok masyarakat yang paling berkuasa[3].

Karena itu, para postmodernist ini menentang hukum dengan mengatakan bahwa hukum tidak berdasarkan benar atau salah secara universal, tetapi hanya perwujudan kekuasaan oleh 1 (satu) kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Dalam bidang hukum. Muncul gerakan yang menantang teori hukum tradisional, gerakan itu disebut dengan gerakan critical legal studies.

Critical Legal Studies timbul sebagai kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal berperan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang sebenarnya. Krisis hukum itu bersumber pada gejolak sosial pada masa tahun 1960-an. Pada masa itu, praktik hukum menampilkan 2 (dua) wajah keadilan yang kontras. Di satu sisi, beberapa pengadilan dan beberapa bagian dari profesi hukum telah menjadi juru bicara bagi kelompok masyarakat yang tidak beruntung. Tetapi di sisi yang lain, pada saat yang bersamaan, hukum menampilkan sosoknya yang dilengkapi dengan sepatu boot dan berlaku represif untuk membasmi setiap anggota masyarakat yang membangkang.

Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang muncul pada tahun tujuh puluhan di Amerika Serikat. Critical Legal Studies lahir karena pembangkangan atas ketidak puasan terhadap teori dan praktek hukum pada saat itu, khususnya terhadap teori dan praktek hukum dalam bidang-bidang sebagai berikut[4] :

1. Terhadap pendidikan hukum

2. Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum

3. Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada

Sebagaimana diketahui bahwa banyak kekecewaan terhadap filsafat,teori, dan praktek hukum yang terjadi di paruh kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang mainstream saat itu, semisal aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak bersinar, semakin tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab berbagai tantangan zaman di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir abad ke-20, bahwa diperlukan adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalam praktek, teori, dan filsafat hukum untuk menjawab tantangan zaman tersebut.

Menyadari akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada tataran teoritis dan filsafat ini, maka pada akhir abad ke-20, tepatnya mulai dekade 1970-an, beberapa ahli hukum mulai melihat hukum dengan kacamata yang kritis, bahkan sangat kritis, dengan gerakannya yang terbilang revolusioner, akhimya memunculkan suatu aliran baru dalam filsafat hukum, yang kemudian dikenal dengan sebutan “aliran hukum kritis” (critical legal studies).

Gerakan critical legal studies mulai eksis dalam dekade 1970-an yang merupakan hasil dari kofrensi tahun 1977 tentang critical legal studies di Amerika serikat. Pada saat yang hampir bersamaan atau beberapa waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan paham yang serupa tetapi bervariasi dalam style, metode dan fokus , juga lahir secara terpisah dan independen di beberapa negara lain selain Amerika Serikat, seperti di Jerman, Prancis.

Di Inggris, gerakan critical legal studies ini dibentuk dalam konferensi tentang critical legal studies pada tahun 1984. Pada tahun tersebut, diundang para ahli hukum untuk membicarakan pendekatan yang kritis terhadap hukum, mengingat adanya kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori (law in books) dengan hukum dalam kenyataan (law in actions) dan kegagalan masyarkat merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat[5]. Konferensi yang dianggap sebagai peletakan batu pertama bagi lahirnya gerakan Critical Legal Studies tersebut dilakukan oleh suatu organizing committee yang beranggotakan sebagai berikut: Abel, Heller, Horwitz, Kennedy, Macaulay, Rosenblatt, Trubek, Tushnet dan Unger. Meskipun aliran critical legal studies belum tentu juga mempunyai teori yang bersifat alternatif, tetapi paling tidak, dia sudah punya sejarah.

Fokus sentral pendekatan critical legal studies adalah untuk mendalami dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum dan praktek institusi hukum yang menopang dan mendukung sistem hubungan-hubungan yang oppressive dan tidak egaliter. Teori kritis bekerja untuk mengembangkan alternatif lain yang radikal, dan untuk menjajagi peran hukum dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan dan sosial yang dapat mendorong terciptanya emansipasi kemanusiaan[6].

Dalam perkembangan lebih lanjut, pendekatan critical legal studies telah melahirkan generasi kedua yang lebih menitikberatkan pemikiran dan perjuangannya dengan menggunakan hukum untuk merekontruksi kembali realitas sosial yang baru. Mereka berusaha keras untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul di permukaan sebagai sesuatu yang netral, di dalamnya penuh dengan bias terhadap kultur, ras atau gender. Generasi kedua dari critical legal studies sekarang muncul dalam wujud Feminist Legal Theories, Critical Race Theoriest, Radical Criminology dan juga Economic Theory of Law.

B.POKOK-POKOK PEMIKIRAN CRITICAL LEGAL STUDIES

Aliran critical legal studies memiliki beberapa karakterisik umum sebagai berikut[7]:

  1. Mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral.
  2. Mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu.
  3. Mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual sesuai dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan. Karena hal itulah, maka tidak mengherankan apabila pada perkembangannya di kemudian hari Critical Legal Studies ini melahirkan pula Feminist Legal Theory dan Critical Race Theory.
  4. Kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objekif. Karena itu, ajaran ini menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum. Aliran critical legal studies menolak unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum, dan menolak-pula kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum yang objektif, sehingga mereka mengubah haluan hukum untuk kemudian digunakan sebagai alat untuk menciptakan emansipasi dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial budaya.
  5. Menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai yang merupakan karakteristik dari paham liberal. Dengan demikian aliran ini menolak kemungkinan teori murni (pure teory) tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transfomasi sosial yang praktis. Sejalan dengan hal itu, namun dalam kalimat yang berbeda, Gary Minda dengan mengutip pendapat dari James Boyle mengatakan bahwa, “Critical Legal Studies offered not merely a theory of law, but a hopeful self-conception of a politically active, socially responsible [vision] of a noble calling”.

Pada prinsipnya, critical legal studies menolak anggapan ahli hukum tradisional yang mengatakan sebagai berikut[8]:

  1. Hukum itu objektif. Artinya, kenyataannya adalah tempat berpijaknya hukum
  2. Hukum itu sudah tertentu. Artinya, hukum menyediakan jawaban yang pasti dan dapat dimengerti
  3. Hukum itu netral, yakni tidak memihak pada pihak tertentu.

Disamping menolak ketiga anggapan tersebut, para penganut ajaran critical legal studies mengajukan pandangannya sebagai berikut[9]:

1. Hukum mencari legitimasi yang salah

Dalam hal ini, hukum mencari legitimasi dengan cara yang salah yaitu dengan jalan mistifikasi, dengan menggunakan prosedur hukum yang berbelit, dan bahasa yang susah dimengerti, yang merupakan alat pemikat sehingga pihak yang ditekan oleh yang punya kuasa cepat percaya bahwa hukum adalah netral

2. Hukum dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksi

Dalam hal ini, pihak penganut critical legal studies percaya bahwa setiap kesimpulan hukum yang telah dibuat selalu terdapat sisi sebaliknya, sehingga kesimpulan hukum tersebut hanya merupakan pengakuan terhadap pihak kekuasaan. Dengan hukum yang demikian, mereka akan berseru ”pilih sisi/pihakmu, tetapi jangan berpura-pura menjadi objektif”. Dalam hal ini, hakim akan memihak pada salah satu pihak (yang kuat) yang dengan sendirinya akan menekan pihak lain.

3. Tidak ada yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam hukum

Ahli hukum yang tradisional percaya bahwa prinsip yang mendasari setiap hukum adalah ”pemikiran yang rasional”. Akan tetapi menurut penganut aliran ini, pemikiran rasional itu merupakan ciptaan masyarakat juga, yang merupakan pengakuan terhadap kekuasaan. Karena itu, tidak ada kesimpulan hukum yang valid yang diambil dengan jalan deduktif maupun dengan verifikasi empiris.

4. Hukum Tidak Netral

Penganut critical legal studies berpendapat bahwa hukum tidak netral, dan hakim hanya berpura-pura atau percaya secara naif bahwa dia mengambil putusan yang netral dan tidak memihak dengan mendasari putusannya pada undang-undang, yurisprudensi atau prinsip-prinsip keadilan. Padahal mereka, selalu bisa dan selalu dipngaruhi oleh ideologi, legitimasi, mistifikasi yanng dianutnya untuk memperkuat kelas yang dominan.

Di samping itu, aliran critical legal studies ini juga berbeda secara konsepsi dengan pendekatan hukum secara sosiologis (sociolegal studies). Pendekatan pada hukum secara sosiologis memiliki kelemahan utama berupa terabaikannya karakter orientasi kebijaksanaan hukum (policy oriented). Khusus untuk masalah ini, berbagai altematif pendekatan baru telah dilakukan oleh para ahli hukum, seperti munculnya ajaran berupa sosiologi hukum kritis (critical sociology of law) atau pendekatan pada hukum (dan juga pada fenomena sosial lainnya) berupa pendekatan secara dialektikal yang modern, semacam yang dilakukan oleh ahli pikir seperti Derrida, atau bahkan seperti yang dimunculkankan oleh Hegel, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut, antara. lain oleh Bhaskar, dengan doktrinnya berupa “realisme kritikal dialektis” (dialectical critical realism). Pendekatan nonkonvensional terhadap hukum seperti ini sudah barang tentu sangat bertentangan dengan pendekatan-pendekatan hukum secara klasik, yang terialu menekankan pada cara berpikir “identitas” (identity thinking).

Aliran critical legal studies merupakah suatu aliran yang bersikap anti-liberal, antiobjektivisme, antiformalisme, dan antikemapanan dalam teori dan filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir postmodern, neomarxism, dan realisme hukum, secara radikal mendobrak paham hukum yang sudah ada sebelumnya, yang menggugat kenetralan dan keobjektifan peran dari hukum, hakim, dan penegak hukum lainnya terutama dalam hal keberpihakan hukum dan penegak hukum terhadap golongan yang kuat/mayoritas/berkuasa/kaya dalam rangka mempertahankan hegemoninya, atau keberpihakan hukum terhadap politik dan ideologi tertentu.

Esensi pemikiran critical legal studies terletak pada kenyataan bahwa hukum adalah politik. Dari pemikiran law is politics itu, critical legal studies berarti sudah langsung menolak dan menyerang keyakinan para positivis dalam ilmu hukum yang mengembangkan pemikiran hukum liberal. Critical Legal Studies berusaha untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang netral, sebenarnya di dalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi. Menurut pandangan critical legal studies, doktrin hukum yang selama ini terbentuk, sebenarnya lebih berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuatan (power), baik itu kekuatan ekonomi, politik ataupun militer. Oleh karena itulah, maka dalam memahami masalah hukum juga harus selalu dilihat dari konteks power-relations[10].

Sebagai salah satu contoh dari hal tersebut di atas, dapat dilihat dari praktik hubungan antarnegara. Dalam hubungan antarnegara, kekuatan sering digunakan oleh negara maju terhadap negara berkembang untuk[11]:

  1. Terlibat dalam kebijakan dalam negeri negara berkembang.
  2. Menekan negara berkembang agar negara berkembang itu melakukan tindakan yang sesuai dengan kebijakan dari negara maju.

Proses intervensi dan penekanan yang dilakukan oleh negara maju seperti itulah yang kemudian dibungkus dengan suatu bentuk perjanjian internasional, agar tampak lebih manusiawi. Dalam keadaan yang demikian itu, maka tepatlah jika Karl Marx menganggap bahwa fungsi utama dari hukum itu adalah untuk menyelubungi atau menutup-nutupi hubungan antarkekuatan yang timpang.

Ada berbagai macam varian di dalam arus critical legal studies. Varian itu disebabkan karena adanya beragam latar belakang sumber intelektual dan orientasi politik dari para pemikir yang ada di dalam critical legal studies. Walaupun memang berisiko mengakibatkan terjadinya penyederhanaan dalam memandang critical legal studies, tetapi setidaknya dapat disebutkan 3 (tiga) varian utama dalam pemikiran critical legal studies ini, yaitu[12]:

  1. Arus pemikiran yang diwakili oleh Unger, yang mencoba mengintegrasikan 2 (dua) paradigma yang saling bersaing, yaitu paradigma konflik dan paradigma konsensus.
  2. Arus pemikiran yang diwakili oleh David Kairys, yang mewakili tradisi pemikiran hukum marxis atau tepatnya mewarisi kritik marxis terhadap hukum liberal yang dianggap hanya melayani sistem kapitalisme. Arus pemikiran ini mempunyai kecenderungan kepada sosialisme humanistik sebagai komitmen politiknya.
  3. Arus pemikiran yang diwakili oleh Kennedy, yang menggunakan metode ekletis yang membaurkan sekaligus perspektif strukturalis, fenomenologis dan neo-marxis.

Roberto Unger dalam bukunya mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang konservatif terhadap kritik kaum critical legal studies tentang formalisme. Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaum critical legal studies tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik dari para ahli hukum yang sangat ambisius dan tidak valid jika ditujukan terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak lawyer dan hakim dalam praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum critical legal studies terhadap ajaran formalisme, sebenarnya juga dalam rangka mempertahankan ajaran formalisme dengan berbagai argumentasi, di samping, juga dalam rangka menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat.

Para penganut aliran Critical Legal Studies juga mengritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan. Sebab, menurut para penganut aliran critical legal studies tersebut bahwa setiap sarana untuk membatasi kekuasaan negara, akan cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang bersifat transformatif.

Critical Legal Studies menyatakan bahwa masyarakat liberal dipenuhi dengan dominasi dan hierarkhi. Kelas atas membentuk struktur yang berlaku bagi lainnya untuk memperlancar kehidupannya. Negara hukum yang ideal adalah yang dapat menandai kontradiksi dan hierarkhi dalam masyarakat liberal. Jika dikatakan bahwa hukum tidak bertugas untuk menemukan kebenaran, tetapi menemukan kompleksitas yang telah ada, maka teori hukum tidak akan bermakna tanpa teori sosial.

Kebenaran pernyataan tentang kehidupan sosial sesungguhnya telah dikondisikan oleh seluruh sistem sosial yang berlaku. Kebenaran bersifat relatif menurut masyarakat tertentu atau kelompok sejarah tertentu. Seseorang secara keseluruhan struktur sosial adalah produk sejarah, bukan alam. Sejarah dipenuhi dengan pertentangan-pertentangan, dan aturan sosial merupakan garis pemisah yang menggambarkan posisi masing-masing. Kekuatan menjadi hak, kepatuhan menjadi tugas, dan untuk sementara pembagian hierarkhi sosial menjadi kabur.

Critical Legal Studies mencoba untuk mempengaruhi realitas sosial. Struktur yang ada merupakan penggunaan kepercayaan dan asumsi yang menciptakan suatu masyarakat dalam realitas hubungan antar manusia. Struktur kepercayaan atau ideology tersebut memiliki potensi terselubung dalam tendensinya untuk mempertahankan dinamikanya sendiri untuk menciptakan doktrin hukum yang menyalahkan kondisi dan alam. Bagi critical legal studies, kesadaran hukum adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan. Hal ini merupakan cara untuk menyembunyikan atau menghindari kebenaran fundamental bahwa segala sesuatu itu dalam proses perubahan dan kehadiran.

Namun demikian, walaupun ada beragam arus pemikiran dalam critical legal studies ini, para pemikir critical legal studies tersebut tetaplah bersatu dalam pokok pemikiran yang tidak puas dan melancarkan kritik terhadap paradigma hukum liberal. Untuk mengkritisi doktrin hukum yang telah terbentuk selama ini, critical legal studies menggunakan metode[13]:

  1. Trashing, yaitu dilakukan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.
  2. Deconstruction, adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran ini, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.
  3. Genealogy, adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat suatu konstruksi hukum.

C.KELEBIHAN DAN KEKURANGAN CRITICAL LEGAL STUDIES

Kelebihan critical legal studies terdiri dari berbagai macam pemikiran yang dikemukakan oleh banyak ahli hukum. Pemikiran-pemikiran tersebut bervariasi dari pemikiran yang bercirikan marxian ortodok sampai pada pemikiran post-modern. Ada beberapa kesepahaman antara pemikiran-pemikiran tersebut, yaitu ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur sosial yang hierarkhis dan didominasi ideologi kelompok tertentu, dan keinginan untuk merombak struktur sosial.

Kekritisan critical legal studies dalam memahami realitas sosial dan tata hukum serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum berdasarkan praksis sosial untuk merombak struktur sosial yang hierarkhis adalah kelebihan utama critical legal studies. Kekuatan ini diwujudkan dalam bentuk analitis kritis terhadap tata hukum, nilai-nilai
dan rasio-rasio hukum yang digunakan oleh para hakim yang selama ini disebut
netral dan benar secara obyektif.

Kelebihan lain dari critical legal studies adalah perhatiannya yang sangat besar
terhadap pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam tatanan sosial.
Kelebihan ini seperti membangkitkan kembali pandangan eksistensialis Kant-ian
yang akhir-akhir tergerus oleh gelombang modern dan industri sehingga
menimbulkan keterasingan individu subyektif karena tersedot arus budaya massa yang
abstrak.

Namun teori ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Sebagaimana pemikiran kritis, apabila tidak digunakan secara tepat dengan mengingat tujuan dan batas penggunaan, kritisisme bisa berujung pada nihilisme. Atau paling tidak terjebak pada lingkaran kritik tanpa ujung dalam tingkatan wacana sehingga melupakan tugas praktis terhadap masyarakat.

Kelemahan lain adalah dari sifat asli pemikiran kritis yang selalu
dalam dirinya sendiri melakukan dekonstruksi sehingga perubahan dan gejolak
selalu terjadi. Padahal realitas masyarakat selalu cenderung mempertahankan
nilai-nilai dan tatanan lama dan hanya mengijinkan perubahan yang tidak terasa.
Akibatnya critical legal studies sangat sulit menjadi mainstream pembangunan hukum. Tugas utama critical legal studies adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan oleh orang lain.

D.PERKEMBANGAN CRITICAL LEGAL STUDIES DI INDONESIA

Critical Legal Studies bagi kalangan hukum di Indonesia sendiri masih dianggap
baru. Perkembangan awal critical legal studies digunakan oleh kalangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memahami kebijakan dan struktur hukum yang menindas.
Hal ini sesuai dengan mainstream utama pemikiran LSM yang cenderung kritis dengan menggunakan pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab kritis. Namun untuk saat ini kita tidak tahu apakah para aktivis LSM masih cenderung kritis dalam pemikiran-pemikirannya.

Saat ini Indonesia berada dalam masa transisi yang ditandai oleh pergulatan kekuatan-kekuatan yang mencoba untuk mendominasi baik dari dalam negeri maupun kekuatan kapitalis internasional yang sangat-sangat membahayakan. Maka sudah saatnya pemikiran-pemikiran critical legal studies juga digunakan untuk memahami, mengkritik, membangun, dan menerapkan hukum di Indonesia yang terlalu banyak carut marut di dalam penerapannya

Pemikiran Critical Legal Studies juga telah mempengaruhi pemikiran para ahli hukum di Indonesia. Hal itu dapatlah dipahami, karena keadaan hukum di Indonesia mirip dengan keadaan hukum di Amerika Serikat pada saat Critical Legal Studies ini lahir. Jadi dengan demikian, penggunaan metode yang ditawarkan oleh Critical Legal Studies memang akan sangat membantu dalam memberikan pemahaman terhadap keadaan hukum di Indonesia. Untuk hal ini, menarik juga untuk memperhatikan pendapat dari Ifdhal Kasim yang menyatakan: “Kajian-kajian hukum Critical Legal Studies saya kira sangat relevan kita gunakan dalam menganalisis proses-proses hukum di Indonesia, dalam menganalisis proses-proses pembentukan dan penerapannya maupun untuk menganalisis suatu doktrin hukum dan bagaimana ia telah berfungsi mengabsahkan suatu sistem sosial atau kebijakan tertentu. Saya kira memang sangat diperlukan suatu analisis yang dapat mengungkap “hidden political intentions” di belakang berbagai konsep, doktrin dan proses-proses hukum di sini”[14].

Penggunaan critical legal studies untuk menganalisis hukum di Indonesia
paling mudah dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa orde baru. Pada
masa inilah dapat dilihat secara jelas kepentingan-kepentingan ekonomi dan
politik dominan yang menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas pertumbuhan
ekonomi memaksa kebijakan kemudahan usaha dengan jalan pemberian kredit yang
disertai dengan deregulasi dan debirokratisasi. Kepentingan pembangunan ekonomi
mensyaratkan stabilitas politik yang dilakukan dengan cara mengurangi hak sipil
dan politik rakyat

Selain hal tersebut, perlu pula diperhatikan, bahwa pada saat menggunakan metode critical legal studies dalam menganalisis keadaan hukum di Indonesia, tetaplah harus memperhatikan faktor-faktor tertentu yang sifatnya khas dan mungkin hanya ada di Indonesia, seperti faktor nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia atau faktor agama. Bahkan untuk faktor agama ini, akan sangat mungkin menjadi hambatan untuk dilakukannya kajian yang kritis terhadap hukum[15]. Misalnya saja, tentu akan sulit untuk melakukan kajian yang kritis terhadap kemungkinan dibentuknya peraturan perundang-undangan yang melegalkan perkawinan sesama jenis kelamin (homoseksual) di Indonesia. Hambatan terhadap kajian kritis semacam itu, tentu terletak pada keyakinan masyarakat Indonesia yang pada umumnya masih menganggap bahwa perilaku homoseksual itu adalah dilarang oleh agama (bertentangan dengan nilai agama). Jadi, dalam menggunakan metode critical legal studies ini tetaplah “kontekstualisasinya diperlukan”[16].

DAFTAR PUSTAKA

Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003

Fitzpatrict, Peter dan Alan Hunt, Critical Legal Studies, Basil Blackwell Ltd, New York, 1987

Fuady, Munir, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum). PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement , Harvard University Press, Cambridge, 1986

W , Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum Susunan I, (diterjemahkan Mohammad Arifin), Rajawali Press, Jakarta, 1990

W , Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum Susunan III, (diterjemahkan Mohammad Arifin), Rajawali Press, Jakarta, 1990



[1] Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hal 1.

[2] Ibid

[3] Ibid, 2

[4] Munir Fuady, op.cit, hal.3

[5] Ibid

[6] Peter Fitzpatrict dan Alan Hunt, Critical Legal Studies, Basil Blackwell Ltd, New York, 1987, hal 2

[7] Ibid, hal.90

[8] Munir Fuady, op. cit, hal 6

[9] Ibid, hal 6-7

[10] Abdulkadir Jailani, “Hukum Internasional Pasca Perang Irak: Legalisasi Politik Internasional dan Politisasi Hukum Internasional”, dimuat dalam Jurnal Hukum Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Volume 2, Nomor 2, Januari 2005), hal 336

[11] Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Maju”, (Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 November 2001), hal 7.

[12] Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan Critical Legal Studies dalam Kajian Hukum di Indonesia,terjemahan dari karya Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement, Cambridge Harvard University Press, 1986, hal. 24

[13] Hikmahanto Juwana, op.cit, hal 8

[14] Ifdal Kasim, loc. cit, hal. 29-30

[15] Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 18

[16] Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement , Harvard University Press, Cambridge, 1986, hal 18

MAKALAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA

KONTRAK ELEKTRONIK

DALAM UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SEBAGAI

PERKEMBANGAN DALAM HUKUM PERDATA

Oleh: Emillia Arief, SH

PENDAHULUAN

Cyber law merupakan salah satu topik yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Cyber Law terdiri atas dua suku kata, yaitu cyber dan law. “cyber” ini berasal dari kata “cybernetics” dimana tujuannya adalah mengendalikan sesuatu (misalnya robot) dari jarak jauh. Jadi tujuan utamanya adalah kendali total/perfect control, sedangkan law diartikan sebagai hukum. Secara awam hukum cyber merupakan padanan kata dari Cyber Law, yang secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah Hukum teknologi informasi (law of information technolgy), hukum dunia maya (virtual world law) dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik tersebut.

Yang dimaksud dengan sistem elektronik adalah sistem komputer dalam arti luas yang tidak hanya mencakup perangkat keras dan perangkat lunak computer, tetapi juga mencakup jaringan telekomunikasi dan /atau sistem komunikasi elektronik. Sistem elektronik juga digunakan untuk menjeaskan keberadaan sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis, menampilkan dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik.

Pada saat ini Indonesia telah memiliki Undang-Undang yang mengakomodir mengenai cyber law, yaitu Undang-undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. Dapat disimpulkan bahwa Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

Beberapa contoh pemanfaatan Tekhnologi Informasi adalah seperti penggunaan mesin ATM untuk mengambil uang; penggunaan handphone untuk berkomunikasi dan bertransaksi (mobile banking); penggunaan Internet untuk melakukan transaksi (Internet banking, membeli barang), berkirim e-mail atau menjelajah Internet; perusahaan melakukan transaksi melalui Internet (e-procurement). Jelas terlihat bahwa Tekhnologi Informasi memiliki peluang untuk meningkatkan perdagangan dan perekonomian nasional yang terkait dengan perdagangan dan perekonomian global.

Pemanfaatan Transaksi Elektonik mempunyai efek negative, antara lain : penyadapan e-mail, PIN (untuk Internet Banking); pelanggaran terhadap hak-hak privacy; masalah nama domain; penggunaan kartu kredit milik orang lain; munculnya “pembajakan” lagu dalam format MP3; adanya spamming e-mail; dan maraknya situs pornografi didunia cyber. Sehingga sangat penting adanya pengaturan mengenai Cyber law khususnya di Indonesia. Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik; yang untuk selanjutnya disebut juga dengan UU ITE, tersebut diharapkan mampu mengatasi kendala yang ada di bidang cyber law di Indonesia.

Dengan tuntutan dunia usaha yang kian meningkat sehingga membutuhkan efisiensi waktu semaksimal mungkin, transaksi elektronik adalah solusi yang amat dibutuhkan. Namun, selama ini masih besar sekali keraguan para pelaku bisnis yang ingin menyelesaikan transaksi mereka secara elektronik.

Padahal, hukum perdata kita menganut asas konsensualisme yang menyatakan bahwa perikatan terjadi setelah tercapainya kesepakatan, dan kesepakatan di sini tercapai dalam bentuk tertulis maupun lisan. Keraguan terbesar para pelaku bisnis adalah apakah transaksi yang mereka selesaikan secara elektronik telah sah sehingga segala hal yang mereka lakukan berdasarkan transaksi tersebut tidak akan menjadi sia-sia dan bahkan merugikan secara finansial. Dengan pengakuan UU ITE bahwa transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak, maka keraguan tersebut telah sirna.

KONTRAK ELEKTRONIK

DALAM UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SEBAGAI

PERKEMBANGAN DALAM HUKUM PERDATA

Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik,yang biasa disebut UU ITE, transaksi yang dilakukan adalah transaksi elektronik. Transaksi elektronik itu sendiri adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer dan /atau media elektronik lainnya Para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati. Transaksi elektronik kemudian dapat dituangkan kedalam kontrak elektronik. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik. Maka transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak.

Istilah kontrak itu sendiri berasal dari bahasa Inggris yang berarti perjanjian atau persetujuan.. Sedangkan dalam bahasa belanda, disebut dengan overeenkomst (perjanjian). Fungsi kontrak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Pengertian perjanjian atau kontrak diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yaitu suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain ata lebih.

Ada beberapa macam bentuk kontrak yang umum kita ketahui yaitu kontrak bernama (nominaat) dan kontrak tidak bernama (innominnaat). Perjanjian bernama (nominaat) adalah perjanjian yang disebutkan dalam KUHPerdata sedangkan perjanjian tidak bernama (innominaat), yaitu : “Perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di masyarakat”. Hal ini adalah berdasar kebebasan mengadakan perjanjian atau partij autonomi yang berlaku dalam perjanjian. Dari uraian tersebut dapat dikemukakan unsur kontrak innominaat, yaitu : kontrak yang tidak diatur dalam KUH Perdata; tumbuh dan berkembang dalam masyarakat ; didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hukum kontrak innominaat diatur dalam Buku III KUHPerdata, dimana hanya ada satu pasal yang mengatur tentang kontrak innominaat, yaitu pasal 1319 KUHPerdata. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa perjanjian, baik yang mempunyai nama dalam KUH Perdata maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu (tidak bernama) tunduk pada Buku III KUH Perdata. Dengan demikian, para pihak yang mengadakan kontrak innominaat tidak hanya tunduk pada berbagai peraturan yang mengaturnya, tetapi para pihak juga tunduk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata. Oleh karena kontrak elektronik berkembang di luar KUH Perdata, maka penulis beranggapan bahwa kontrak seperti itu termasuk dalam kategori yang dinamakan kontrak tidak bernama (innominaat/onbenoemde contract).

Transaksi elektronik mapun kontrak elektronik memiliki prinsip yang sama dengan perjanjian menurut KUH Perdata. Perbedaannya terletak pada kekhususan transaksi elektronik maupun kontrak elektronik yang menggunakan alat elektronik untuk menunjang aktivitasnya. Kontrak elektronik adalah sangat baru dalam lapangan hukum perdata Indonesia seiring dengan disahkannya UU ITE pada tahun 2008 ini. Mekanisme transaksi elektronik tidak seperti transaksi jual beli konvensional karena setiap transaksi elektronik diawali dengan tahap penawaran melalui media internet oleh pelaku usaha, tahap penerimaan oleh konsumen, tahap kesepakatan antara para pihak, tahap pembayaran melalui jasa perbankan, dan diakhiri dengan tahap pengiriman produk yang dipesan melalui jasa ekspedisi.

Syarat sahnya suatu perjanjian; yang juga berlaku pada kontrak elektronik; didasarkan pada pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata memuat tentang syarat subjektif dan objektif dan suatu perjanjian. Syarat subjektif memuat tentang kata sepakat diantara para pihak. Kecakapan para pihak dalam bertransaksi juga merupakan syarat subjektif, dimana kecakapan ini dapat dilihat dari kunci publik yang telah didaftarkan pada lembaga sertifikasi elekronik. Mengenai syarat objektif dapat dilihat dari adanya suatu hal tertentu, yaitu adanya objek perjanjian yang telah ditentukan jenisnya. Syarat objektif lainnya menyangkut tentang adanya suatu sebab yang halal, maksudnya objek yang diperjanjikan tidak boleh berupa barang yang dilarang oleh hukum untuk diperjual belikan.

Syarat pertama dan ke dua adalah berkaitan dengan subyeknya atau pihak-pihak dalam perjanjian, sehingga disebut sebagai syarat subyektif. Sedangkan syarat ke-tiga dan ke-empat disebut sebagai syarat obyektif karena mengenai obyek suatu perjanjian.

Antara syarat subyektif dengan syarat obyektif perlu dibedakan, berkaitan dalam hal perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan atau dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak yang memberikan kesepakatannya secara tidak bebas. Namun demikian perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan oleh hakim.

Apabila syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Dengan demikian tujuan para yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal.

Syarat Kesepakatan Kehendak

Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklairing) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Dalam kontrak elektronik, kesepakatan didahului oleh adanya tindakan penawaran dan penerimaan penawaran. Sehingga momentum terjadi perjanjian, yaitu pada saat terjadinya persesuaian kehendak para pihak. Para pihak dalam UU ITE adalah :

1. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik

2. Penerima adalah subjek hukum yang menerima informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dari pengirim

Subjek hukum itu sendiri dalaam UU ITE terdiri atas orang perseorangan baik warga negara indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum dan badan usaha yaitu perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

Kita lihat misalnya masalah kesepakatan lewat internet. Apabila seseorang akan melakukan transaksi lewat internet, ia harus mengisi formulir pemesanan atau formulir pembayaran yang disediakan di situs web perusahaan. Kapan kesepakatan terjadi? Apakah benar kesepakatan telah terjadi sewaktu seseorang selesai mengisi formulir pemesanan barang dan kemudian menekan tombol “enter” untuk mengeksekusi pesanannya, ataukah kesepakatan terjadi sewaktu petugas perusahaan membuka formulir pesanan tersebut dan membaca pesanan.

Untuk mengetahui kapan suatu kesepakatan kehendak terjadi sehingga saat itu pula kontrak dianggap telah mulai berlaku, ada beberapa teori, yaitu:

  1. Teori penawaran dan penerimaan (offerandacceptance).
    Menurut teori ini, pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam kontrak tersebut.
  2. Teori Pengiriman (verzendings theorie)

Menurut teori pengiriman ini, suatu kata sepakat terbentuk pada saat dikirimnya surat jawaban oleh pihak yang kepadanya telah ditawarkan suatu kontrak, karena sejak saat pengiriman tersebut, si pengirim telah kehilangan kekuasaan atas surat yang di kirimnya itu.

Dalam UU ITE Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak kecuali ditentukan lain oleh para pihak. Transaksi Elektronik berdasarkan UU ITE terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima. Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik itu harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik. Atau bisa juga dikatakan bahwa transaksi elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara para pihak yang dapat berupa, antara lain pengecekan data, identitas, nomor identifkasi pribadi (personal identification number/PIN) atau sandi lewat (password). Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.

Semua kontrak lahir karena adanya sebuah perjanjian, oleh sebab itu keabsahan dan mengikatnya perjanjian harus terdapat kata sepakat (toestemming) dari para pihak secara sukarela. Kata sepakat ini biasanya berupa agreement ataupun consent. Tetapi untuk menentukan terjadinya kesepakatan dalam kontrak elektronik maka penulis menganggap teori penawaran dan penerimaan sebagai teori yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan saat terjadinya kesepakatan kehendak. Dengan teori ini berarti ada sebuah komunikasi yang terjalin antara para pihak dalam sebuah perjanjian. Komunikasi itu yang mempertemukan kesepakatan yang melahirkan perjanjian

Syarat Kecakapan Berbuat Dari Para Pihak

Pada suatu transaksi ataupun kontrak elektronik yang tidak mungkin adalah sebuah pertemuan langsung antara penjual dan pembeli, maka untuk mengetahui apakah si pembeli cakap untuk mengadakan suatu perjanjian atau tidak, kita bisa menggunakan sebuah fiksi hukum yaitu untuk melakukan pembayaran dengan transaksi online maka dibutuhkan kartu kredit ataupun e-cash atas namanya sendiri, yang berarti ketika membuat kartu kredit tersebut harus melalui prosedur pembuatan kartu termasuk kartu tanda pengenal dan batas usia diperbolehkan membuat kartu kredit. Jadi kita bisa melakukan konfirmasi kartu kredit kepada pihak bank untuk mengetahui cakap tidaknya seseorang dalam hukum.

Syarat Perihal Tertentu

Pada dasarnya yang dimaksudkan dengan perihal tertentu tidak lain merupakan objek atau barang-barang dalam suatu kontrak. Jadi suatu kontrak haruslah mempunyai objek tertentu. Perjanjian pokok harus objek yang diperbolehkan oleh Undang-undang, yaitu : 1).Barang yang merupakan objek kontrak tersebut haruslah barang yang dapat di perdagangkan (vide pasal 1332 KUH Perdata). Berkaitan dengan barang yang dapat diperdagangkan maka consumer dalam transaksi elektronik harus lebih jeli melihat barang yang ditawarkan melalui webstore. Hal berkaitan dengan jaringan internet yang terbuka sehingga tidak menutup kemungkinan barang/sesuatu yang menurut hukum tidak patut dijual, malah diperdagangkan secara bebas. Misal kasus penawaran untuk menjual anak ataupun organ tubuh. 2).Pada saat kontrak di buat minimal barang tersebut sudah di tentukan jenisnya (vide pasal 1333 ayat 1 KUH Perdata). 3). Jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut kemudian dapat ditentukan atau dihitung (vide pasal 1334 ayat 2 KUH Perdata).4).Barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada di kemudian hari (vide pasal 1334 ayat 1 KUH Perdata). Untuk penyelenggaraan transaksi elektronik itu sendiri harus menunggu keluar PP nya terlebih dahulu. Tetapi secara umum aturan dalam KUHPerdata masih berlaku.

Syarat Kausa yang Halal

Pada pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Didalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dalam UU ITE perbuatan yang dilarang diatur dalam Bab VII, Pasal 27 s/d 37, antara lain suatu informasi elekronik dan atau dokumen elektronik tidaklah boleh memuat yang mengandung muatan kesusilaan; muatan perjudian; muatan penghinaan ataupun pencemaran nama baik; muatan pemerasan dan atau acaman; muatan kebencian atau permusuhan individu dan /atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Alat Bukti Elektonik

Dalam transaksi/kontrak elektronik, prinsip-prinsip dalam hukum kontrak tradisional, harus mengalami modifikasi karena tidak mengenal waktu dan tempat.
Selain itu, masih banyak aturan lain yang harus dibenahi mengingat perjanjian tersebut tidak dilakukan secara tatap muka maupun berdasarkan saksi notaris.

Menurut pasal 164 HIR dan 1866 BW terdapat lima macam alat bukti yang digunakan dalam pembuktian di persidangan, yaitu : Bukti tulisan; Bukti dengan saksi; persangkaan-persangkaan; pengakuan; sumpah. Alat bukti tertulis yang terdapat dalam pasal 1866 KUHPerdata maupun 164 HIR merupakan hal terpenting dalam pembuktian. Dalam hukum bukti tertulis biasanya disamakan dengan surat, dan berdasarkan kekuatan pembuktiannya terbagi menjadi tiga, yaitu ;1).surat biasa; 2)akta otentik; 3) akta dibawah tangan. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Pasal 5 ayat (2) UU ini mengatakan, informasi elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai hukum acara di Indonesia. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Tapi ketentuan itu tidak berlaku untuk surat yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk tertulis. Selain itu juga tidak berlaku untuk surat beserta dokumennya yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Meski ada perkecualian seperti itu, infomasi atau dokumen elektronik tetap dimungkinkan pemakaiannya. Syaratnya, 'duplikasi' dokumen itu memuat informasi yang bisa diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Transaksi elektonik untuk kegiatan perdagangan kita kenal dengan istilah e-commerce. Dalam e-commerce dikenal adanya dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas. Transaksi elektronik antara e-merchant (pihak yang menawarkan barang atau jasa melalui internet) dengan e-customer (pihak yang membeli barang atau jasa melalui internet) yang terjadi di dunia maya atau di internet pada umumnya berlangsung secara paperless transaction, sedangkan dokumen yang digunakan dalam transaksi tersebut bukanlah paper document, melainkan dokumen elektronik (electronic document).

Bentuk konsensualitas suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis ( kontrak ), salah satunya adalah adanya pembubuhan tanda tangan dari pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Tanda tangan itu selain berfungsi sebagai wujud kesepakatan, juga sebagai wujud persetujuan atas tempat dan waktu serta isi perjanjian yang dibuat. Tanda tangan juga berhubungan dengan kesengajaan para pihak untuk membuat suatu kontrak sebagai bukti atas suatu peristiwa.

Dalam transaksi elektronik maka tanda tangannya berupa tandatangan elektronik. Menurut pasal 1 angka 12 UU ITE menyebutkan bahwa tanda tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi Dalam hal ini dapat ditafsirkan bahwa fungsi tanda tangan untuk adalah mengotentifikasikan penandatangan dengan dokumen yang ditandatanganinya. Jadi pada saat penandatangan membubuhkan tanda tangan dalam suatu bentuk yang khusus, tulisan tersebut akan mempunyai hubungan (attribute) dengan penandatangan. Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut (Pasal 11 ayat (1) UU ITE):

a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;

b.data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat meproses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;

c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;

d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;

e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan

f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.

UU ITE memberikan pengakuan scara tegas bahwa meskipun hanya merupakan suatu kode, tanda tangan elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan tanda tangan manual pada umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum.Adapun persyaratan yang dimaksud pada pasal 11 ayat (1) UU ITE tersebut merupakan persyaratan minimum yang harus dipenuhi dam setiap tanda tangan elektronik. Ketentuan ini juga membuka kesempatan seluas-luasnya kepada siapa pun untuk mengembangkan metode, teknik atau proses pembuatan tanda tangan elektronik.

Pengaturan selanjutnya dalm UU ITE adalah pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) bahwa “Setiap orang berhak menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik untuk pembuatan tanda tangan elektronik; Penyelenggara sertifikasi elektronik harus memastikan ketekaitan suatu tanda tangan elektronik dengan pemiliknya.”

Penyelesaian Sengketa

Dari ketentuan Pasal 2 sudah tampak, UU ini didesain untuk dapat menjadi payung hukum bagi perselisihan hukum yang lintas negara. Karena itu, dalam hal terjadi sengketa, UU ini menekankan diberlakukannya asas hukum perdata internasional. Soal kontrak elektronik lintas negara diatur dalam Pasal 18. Ditegaskan di sana, para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi yang dibuatnya. Jika para pihak tidak secara spesifik melakukan pilihan hukum, maka yang diberlakukan adalah hukum yang berazaskan hukum perdata internasional.

Jika timbul sengketa, para pihak juga memiliki kewenangan menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembga penyelesaian sengketa lainnya. Dan, jika para pihak tak menetapkan pilihannya, lagi-lagi yang berperan adalah pengadilan, lembaga arbitrase atau lembaga lainnya yang menerapkan azas hukum perdata internasional.

Bagaimana jika ada segolongan masyarakat yang merasa dirugikan oleh penyelenggara sistem TI? UU ini memiliki bab khusus soal penyelesaian sengketa. Bab VIII itu mengatur mekanisme pengajuan gugatan, baik secara individual maupun perwakilan. Gugatan kelompok atau biasa dikenal dengan class action, dinaungi oleh Pasal 38 ayat 2. Di situ dinyatakan, masyarakat dapat mengajukan gugatan perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik yang berakibat merugikan masyarakat.

Objek Perjanjian

Yang tak kalah penting, UU ITE juga memperluas pengertian hak karya intelektual (HKI). Pasal 25 UU ini menyebutkan, situs internet dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai HKI.

Produk-produk seperti software komputer, musik dan produk lain yang bersifat digital dapat dipasarkan melalui internet dengan cara mendownload secara elektronik. Dalam perkembangannya obyek yang ditawarkan melalui internet juga meliputi barang-barang kebutuhan hidup lainnya. Banyak perusahaan yang bergerak di bidang e-commerce dengan menawarkan barang tak berwujud separti data, software dan ide-ide yang dijual melalui internet. Beberapa bentuk transaksi yang dapat terjadi :

- untuk produk on line yang berupa software, pembeli diizinkan untuk men-download-nya;

- untuk produk yang berwujud fisik, pengiriman barang dilakukan sampai di rumah konsumen;

- untuk pembelian jasa, supplier menyediakan untuk melayani konsumen sesuai dengan waktu dan tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian.

PENUTUP
Berdasarkan dari apa yang telah dikemukakan, dapat kita simpulkan dan usulkan hal-hal sebagai berikut terutama dari bidang hukum perdata:

1. Kontrak elektronik termasuk dalam kategori yang dinamakan kontrak tidak bernama (innominaat/onbenoemde contract).

2. Terjadinya kesepakatan dalam kontrak elektronik dapat dilihat melalui teori penawaran dan penerimaan sebagai teori yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan saat terjadinya kesepakatan kehendak.

3. Dalam transaksi/kontrak elektronik, prinsip-prinsip dalam hukum kontrak tradisional, harus mengalami modifikasi karena tidak mengenal waktu dan tempat.

4. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. serta perluasan dari alat bukti yang sah sesuai hukum acara di Indonesia.

5. Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah, sama sepeti fungsi tanda tangan tradisonal.

6. Mengatur kontrak elektronik lintas negara yaitu bahwa para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi yang dibuatnya. Jika para pihak tidak secara spesifik melakukan pilihan hukum, maka yang diberlakukan adalah hukum yang berazaskan hukum perdata internasional.

7. UU ITE mengenal mekanisme pengajuan gugatan, baik secara individual maupun perwakilan/class action.

8. UU ITE juga memperluas pengertian hak karya intelektual (HKI) yaitu situs internet dan karya intelektual yang ada di dalamnya.